Kolonialisme di Indonesia: Kedatangan Bangsa Belanda (PART 1) - Awal Kedatangan Hingga VOC

 

Pemandangan Batavia (tidak diketahui, sekitar tahun 1665). Arsip Nasional Belanda


      Awal kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Nusantara memang tak lepas dari beberapa latar belakang, mulai dari motivasi 3G yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Kemudian tak lupa faktor penting lainnya adalah pencarian komoditas yang sedang mahal di pasar Eropa saat itu, yaitu REMPAH-REMPAH.

Cengkeh, pala, dan fuli hanya berasal dari beberapa pulau kecil di tengah kepulauan Indonesia yang luas – cengkeh ada di lima Kepulauan Maluku sekitar 1.250 km (778 mil) di sebelah barat Papua Nugini, dan pala di sepuluh pulau di Kepulauan Banda sekitar 2.000 km (1.243 mil) di sebelah timur Jawa. 

Meskipun populer dalam masakan Eropa, asal usul rempah-rempah ini tidak diketahui orang Eropa hingga awal abad ke-16. Hingga akhirnya Portugis dan Spanyol mulai berlomba-lomba untuk melakukan monopoli terhadap rempah-rempah di Maluku tersebut.

Kemudian akhirnya Kerajaan Belanda juga ingin ikut merasakan nikmatnya komoditas rempah-rempah ini.


Kolonialisme Belanda di Nusantara

Kolonialisme Belanda di Indonesia merupakan periode penting yang membentuk sejarah dan perkembangan sosial, ekonomi, serta politik di Nusantara. Kedatangan bangsa Belanda, yang awalnya bertujuan untuk berdagang, berkembang menjadi dominasi kolonial yang berlangsung selama beberapa abad. Artikel ini akan mengkaji secara objektif proses kedatangan Belanda, pembentukan VOC, serta dampaknya terhadap struktur sosial dan ekonomi Indonesia hingga berakhirnya VOC pada tahun 1799.

Cornelis de Houtman
Source:wikipedia


Kedatangan Awal Bangsa Belanda

Pada akhir abad ke-16, tepatnya tahun 1595, ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Tujuan utama ekspedisi ini adalah mencari rempah-rempah yang sangat bernilai di pasar Eropa. Kedatangan ini menandai awal interaksi antara Belanda dan kepulauan Nusantara. Meskipun ekspedisi pertama ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk konflik dengan penduduk lokal dan kondisi alam yang keras, namun berhasil membuka jalan bagi ekspedisi-ekspedisi berikutnya.

Pada tahun 1597, salah satu dari enam perusahaan (Compagnie van Verre) mengirim armada empat kapal ke Hindia Timur di bawah komando Cornelis de Houtman (1565-1599), seorang pelaut pedagang Belanda. Itu adalah ekspedisi Belanda pertama ke Hindia Timur, dan meskipun hanya 87 dari 249 awak kapal asli yang selamat, pelayaran itu menunjukkan bahwa rute laut ke Hindia Timur rencananya adalah mengikuti rute tradisional Portugis dengan melewati Pantai Barat Afrika kemudian menuju Tanjung Harapan dan nantinya bakal berlabuh di Bantam (Banten), pelabuhan lada utama di Jawa, dan kemudian mencari Kepulauan Rempah (Maluku).

Ekspedisi kedua dikirim pada tahun 1598 dengan enam kapal, dipimpin oleh Jacob van Neck, dengan Wybrand van Warwijck dan Jacob van Heemskerk, masing-masing memimpin satu kapal. Van Neck adalah seorang pemimpin yang cerdik dan kembali ke Belanda pada bulan Juli 1599 dengan empat kapal yang penuh dengan rempah-rempah.

Kapal Van Warwijck berangkat ke Ternate, sementara kapal van Heemskerk berlayar ke Kepulauan Banda. Van Warwijck tiba di Ternate tanpa insiden, diterima dengan baik, memuat kapalnya dengan rempah-rempah, dan pulang, mencapai Amsterdam pada bulan September 1600.

Pemandangan Batavia (dikaitkan dengan A. d'Winter, sekitar tahun 1706) (koleksi Perpustakaan Kerajaan, Den Haag)



Pembentukan VOC

Berdasarkan pelayaran de Houtman dan Van Neck yang berhasil dan untuk mengakhiri persaingan perusahaan swasta, maka States General, yang merupakan badan administratif tertinggi di republik itu, menyatukan keenam perusahaan dagang di Belanda menjadi satu perusahaan saham gabungan. Perusahaan itu diberi kuasa perdagangan rempah-rempah di Hindia Timur selama 21 tahun, yang mana tanggal pendiriannya adalah pada tanggal 20 Maret 1602, dengan modal 6,4 juta gulden.

Nama perusahaan itu adalah United East India Company atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang dalam sejarah dikenal sebagai Perusahaan Hindia Timur Belanda. VOC pada dasarnya merupakan penggabungan yang dipaksakan oleh negara antara perusahaan pelayaran swasta.

Pengacara dan negarawan Johan van Oldenbarnevelt (1547-1619)-lah yang membantu membujuk keenam perusahaan pelayaran swasta ini untuk bersatu. Belanda sedang berperang dalam "Perang Delapan Puluh Tahun (1568-1648)", yang merupakan pemberontakan yang ada di 17 provinsi selatan Belanda melawan Spanyol.

Van Oldenbarnevelt memandang Perusahaan Hindia Timur Belanda yang bersatu sebagai usaha ekonomi dan cara untuk mendanai perjuangan kemerdekaan Belanda.

Enam kamer atau kamar dagang membentuk VOC. Kamar dagang ini mewakili kota pelabuhan Amsterdam, Delft, Rotterdam, Zeeland (Middelburg), Hoorn, dan Enkhuizen. Setiap kamar dagang memiliki dewan direktur, dan dewan pusat atau manajemen umum dikenal sebagai Heeren Zeventien (Tuan Tujuh Belas). Kantor pusatnya berada di Amsterdam. Dewan pusat terdiri dari delapan direktur dari Amsterdam, empat dari Zeeland, dan masing-masing satu dari Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen.

VOC diberikan kuasa perdagangan atau hak monopoli untuk berdagang di Asia oleh pemerintah Belanda, termasuk hak untuk membentuk angkatan bersenjata, mendirikan benteng, dan membuat perjanjian dengan penguasa lokal yang kerap disebut sebagai hak octrooi.



Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1587-1629)
.(Jacob Waben, awal abad ketujuh belas)
 



Gubernur Jenderal VOC

"Pada tahun 1605, armada VOC di bawah komando Laksamana Steven Van der Hagen (1563-1621) merebut benteng Portugis (Fortaleza Nossa Senhora da Annunciad) di Ambon di Kepulauan Rempah. Belanda mengganti namanya menjadi Kasteel Victoria, dan menjadi pangkalan utama dan entrepôt (pusat perdagangan) VOC di Asia hingga tahun 1619."

Gubernur Jenderal pertama VOC adalah Pieter Both, yang menjabat dari tahun 1610 hingga 1614. Pieter Both memainkan peran penting dalam membangun jaringan perdagangan VOC di Asia dan mendirikan pusat perdagangan di Ambon, Maluku. Ia juga berusaha memperkuat kedudukan VOC di Nusantara dengan mendirikan kantor-kantor dagang di berbagai wilayah strategis.

Pada tahun 1619, di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, VOC berhasil merebut Jayakarta dan menggantinya menjadi Batavia, yang kemudian menjadi pusat administrasi dan perdagangan VOC di Asia Tenggara. Jan Pieterszoon Coen dikenal sebagai tokoh yang menerapkan kebijakan keras dalam memperluas kekuasaan VOC. Salah satu kebijakan kontroversialnya adalah pengusiran dan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk asli Banda pada tahun 1621 demi menguasai perdagangan pala.

Jan Pieterszoon Coen melihat perlunya kantor pusat VOC di bagian timur dan pusat administrasi permanen tempat barang-barang dapat disimpan dan dikirim kembali ke Eropa. Coen percaya bahwa kekuatan diperlukan untuk memperluas pengaruh VOC. Ia tiba dengan 17 kapal dan 1.000 tentara pada bulan Mei 1619 dan menyerang kerajaan Banten dan Jayakarta sebelum membakar kota Jayakarta dan membangun Batavia di atas reruntuhan kota tersebut.

Dengan mengembangkan jaringan perdagangan intra-Asia yang luas, wilayah kekuasaan rempah-rempah VOC meluas hingga:

  • Ceylon (Sri Lanka). Pada tahun 1638, perusahaan tersebut menguasai kota pelabuhan Galle di sisi barat pulau dan perkebunan kayu manis di wilayah tersebut. Para administrator VOC menetap di Kolombo dan mengekspor 8.000-10.000 bal kayu manis setiap tahunnya
  • Formosa (Taiwan). Antara tahun 1624 dan 1662, VOC mendirikan pemukiman di Benteng Zeelandia, yang menjadi basis perdagangan perusahaan di Laut Cina Selatan. Belanda terlibat dalam perdagangan sutra mentah, perak, dan emas.
  • Vietnam. Sebuah pos perdagangan di Hoi An didirikan pada tahun 1633 ketika para penguasa Trinh memberikan hak istimewa perdagangan kepada VOC. Permintaan sutra Tonkinese dari Vietnam utara meningkat.
  • India. VOC mulai berdagang di India pada tahun 1604 dan membangun pabrik di Pulicat (Pazhaverkadu) di Pantai Coromandel di India tenggara. Stasiun-stasiun selanjutnya didirikan di Surat, Bengal, Pantai Malabar, dan Konkan dan menyaksikan Belanda berdagang sutra, nila, dan kain katun yang sangat dihargai oleh wanita Belanda.
  • Siam (Thailand). Kehadiran utama perusahaan berada di Ayutthaya. Raja Ekathotsarot (1560-1610) memberikan tanah kepada VOC pada tahun 1606. Belanda membangun pabrik di sana, mengumpulkan barang-barang Siam seperti kulit rusa, tanduk kerbau, kulit sapi, dan gumlac, yang akan dijual di Jepang.
  • Jepang. Keshogunan Tokugawa atau pemerintahan militer (1603-1867) membatasi kegiatan VOC di Dejima, sebuah pulau kecil di pelabuhan Nagasaki. Dejima adalah pulau buatan yang dibangun untuk Portugis, tetapi keshogunan tersebut mengusir orang asing berdasarkan kebijakan isolasionisnya. Namun, orang Belanda diizinkan untuk tetap tinggal tetapi dipindahkan ke Dejima pada tahun 1641. Orang Belanda memperkenalkan teleskop dan mikroskop kepada orang Jepang, sementara penjualan sutra Tonkin menghasilkan keuntungan sebesar 710.000 gulden untuk VOC.

Kemunduran Perusahaan Hindia Timur Belanda

    VOC disamakan dengan perusahaan modern karena dewan direksinya, saham yang diperdagangkan secara publik, dan jangkauan globalnya. Perusahaan ini memiliki tentaranya sendiri, mencetak mata uangnya sendiri, menegosiasikan perjanjian, dan bertindak seperti negara kolonial. Namun, pada akhir abad ke-18, Perusahaan Hindia Timur Belanda bangkrut, dan pemerintah secara resmi membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799.

Alasan kemunduran Perusahaan Hindia Timur Belanda meliputi:
  • Biaya administrasi yang tinggi. VOC harus mempekerjakan perwira militer, prajurit, dan karyawan dengan biaya yang besar untuk mempertahankan monopoli perdagangannya. Pada tahun 1766, misalnya, dibutuhkan biaya sebesar 12,2 juta gulden untuk membayar militer.
  • Korupsi. Pejabat perusahaan yang bekerja di Asia akan melakukan perdagangan ilegal atau mencari keuntungan sendiri. Gaji tahunan gubernur jenderal adalah 14.000 gulden, tetapi Joan van Hoorn (1653-1711), yang menjabat sebagai gubernur jenderal selama lima tahun dari tahun 1704 hingga 1709, pulang dengan sepuluh juta gulden.
  • Persaingan & Konflik. Belanda berselisih dengan Inggris dan Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC) saat EIC mendirikan pos dagang mereka sendiri di Asia. Pada tahun 1623, Belanda di Amboyna (sekarang Ambon) mengadili dan mengeksekusi sepuluh orang Inggris, sembilan orang Jepang, dan seorang pedagang Portugis setelah mereka mengaku, di bawah siksaan, melakukan pengkhianatan dan berencana merebut benteng Belanda serta membunuh gubernur jenderal. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Pembantaian Amboyna, pada akhirnya turut memicu Perang Inggris-Belanda (1652-1784) – Perang Inggris-Belanda Keempat menyaksikan Angkatan Laut Inggris menghancurkan armada Belanda, dan rutenya antara Asia dan Eropa terganggu parah pada tahun 1780. Meskipun Belanda tanpa henti menyingkirkan pesaing asing dari Kepulauan Rempah, hal itu menimbulkan kerugian ekonomi. VOC juga terlibat dalam politik lokal yang menguras keuangan, khususnya perang perebutan kekuasaan di Jawa (1703-1755).
  • Rempah-rempah tidak lagi diminati. Barang-barang lain seperti teh, kopi, dan gula memperluas pasar internasional dan menyaingi rempah-rempah dalam hal kepentingan ekonomi. Makanan dan gaya persiapan baru muncul, membuat rempah-rempah tidak lagi menjadi barang mewah yang diinginkan. Demikian pula, penyelundupan mengakibatkan tanaman dan benih dibudidayakan di tempat lain. Pala, yang aslinya berasal dari Kepulauan Rempah-rempah, sampai ke Karibia, dan Inggris membawa cengkeh dan pala dari Asia Tenggara ke India.


Sumber:
James Hancock, European Discovery & Conquest of the Spice Islands dalam www.worldhistory.org.
Masselman, George. George Masselman / The Cradle of Colonialism 1963. Yale University Press, New Haven, 1963.
Boxer, C.R (1983). Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799 (dalam Bahasa Indonesia). Sinar Harapan.

0 Comments