Sejak
zaman dahulu, ayam (Gallus gallus domesticus) sudah menjadi bagian dari
kehidupan bermasyrakat. Baik digunakan sebagai konsumsi, peliharaan, bahkan
dijadikan sebagai bahan perjudian atau aduan. Waktu penulis kecil, sering kali
diceritakan dengan dongeng-dongeng yang berhubungan dengan hewan yang satu ini,
mulai dari Cinde Laras hingga ke cerita mengenai Sultan Hassanudin yang
dijuluki sebagai Ayam Jantan dari Timur. Ayam yang berada di Indonesia ini
terdapat berbagai jenis, mulai dari ayam petelur, ayam pedaging, ayam hias, dan
ayam sabung.[1]
Gambar : Legenda Cinde Laras |
Ayam
yang sering dijadikan bahan konsumsi adalah ayam pedaging (broiler) dan
juga ayam kampung. Dahulu ayam termasuk makanan yang ekslusif karena hanya
dikonsumsi oleh orang-orang besar saja dan rakyat biasa hanya bisa mengkonsumsi
saat perayaan hari-hari besar dan upacara kepercayaan. Misalnya, pada saat hari
Lebaran dan juga pada saat kenduren disajikan Ayam Ingkung yaitu ayam
jago yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu
santan yang kental), dimana jago tersebut dibuat menelikung sebagaimana orang
duduk tasyahud akhir dalam solat. Kondisi ini merupakan simbol penyembahan
makhluk kepada Tuhan dengan khusuk (menekung) dan hati yang tenang.[2]
Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang
dilambangkan oleh ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara
selalu menyela dan merasa menang/benar sendiri (berkokok).[3]
Gambar : Ingkung Ayam dalam Sego Udok/Sego gurih dan Jangan Lombok |
Ternyata
dalam pengkonsumsian ayam ini terdapat filosofi-filosofi tersembunyi yang
mempunyai makna yang sangat bijak. Saya ingat ketika masih kecil dulu sering disuruh
makan ceker (kaki) ayam dan kepala ayam , yang ternyata mempunyai filosofi
bahwa diharapkan bahwa seorang anak nantinya dapat mencari makan sendiri (ceker-ceker
seperti saat ayam mencari makan) serta makan kepala ayam diharapkan bahwa sang
anak nantinya dapat menjadi kepala (pemimpin). Namun, anak-anak tidak
diperbolehkan makan beberapa bagian, seperti brutu (buntut), jeroan, dan bagian
yang banyak dagingnya. Menurut orang tua zaman dulu anak-anak tidak boleh makan
brutu dikarenakan akan membuat lupa, mungkin yang dimaksudkan oleh para orang
tua adalah jika makan brutu terlalu banyak, anak akan lupa sekitarnya karena
terlalu enak menikmati brutu ayam yang merupakan bagian ayam yang paling banyak
lemak gajihnya.
Gambar : Sate Brutu |
Terdapat
juga dalam ritual kenduri adalah telur yang direbus pindang yang disuguhkan
utuh beserta cangkangnya. Telur ini memiliki filosofi yang sangat dalam, yaitu
manusia harus memiliki etos kerja yang tinggi. Dalam telur rebus pindang yang
saat disuguhkan masih utuh dengan cangkangnya, berarti orang yang akan
menikmatinya harus mengupasnya terlebih dahulu dengan upaya yang hati-hati dan
penuh konsentrasi. Artinya, setiap pekerjaan manusia meskinya harus
direncanakan, dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya sehingga
memperoleh hasil akhir yang maksimal.[4]
Ternyata
dalam kepercayaan masyarakat (terutama Jawa) dari hal yang sangat simpel saja
terdapat banyak sekali makna yang bijak. Yang dapat dijadikan sebagai pelajaran
hidup manusia. Namun sayang, fenomena seperti mulai hilang seiring dengan
perkembangan zaman, dimana semua kalangan dapat mengkonsumsi ayam kapan saja
dan dimana saja.
[1] “Ayam”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Ayam.
Diakses pada 17 Mei 2013 pukul 18.50 WIB
[2] “Filosofi Kenduri dalam
Ritual 100 Hari”, dalam http://almenggorani.blogspot.com/2010/04/filosofi-kenduri-dalam-ritual-100-hari.html.
Diakses pada 17 Mei 2013 pukul 19.05 WIB
[3] “Nasi Tumpeng”, dalam http://funcuisine.wordpress.com/category/others/.
Diakses pada 17 Mei 2013 pukul 19.10 WIB
[4] Op cit
sumber gambar :
http://ringchery.blog.stisitelkom.ac.id/2012/04/12/cindelaras/
http://pesonaayam.blogspot.com/2013/03/kandungan-omega-3-pada-ceker-ayam.html
http://979foodforfun.blogspot.com/2010_07_01_archive.html
http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/07/04/kenduri-nasi-ambeng-di-perkampungan-jawa-asli-dari-pacitan-di-melaka-malaysia-377801.html
0 Comments