Mangkunegoro VII merupakan anak dari Mangkunegoro V.
Ia merupakan anak yang ketujuh dan putera yang ketiga. Ia lahir pada tanggal 12
November 1885, yang menurut hitungan Jawa jatuh pada hari Kamis Wage, tanggal 3
Sapar tahun Dal 1815. Mangkunegoro VII memiliki nama kecil B.R.M. Soeparto.
Sewaktu kecil Soeparto telah diangkat putera oleh pamannya, yakni R.M. Soenito.
Ia sangat dimanja dan disayangi oleh pamannya yang belum memiliki keturunan. Soeparto
hanya memiliki satu adik kandung yang bernama R.A. Soeparti. RM. Soeparto
memutuskan akan meninggalkan Mangkunegaran dan mencari pengalaman di luar. RM.
Soeparto magang pekerjaan di Kabupaten Demak, kemudian dalam waktu yang tidak
lama beliau diangkat menjadi Mantri (1905). Sambil bekerja sebagai Mantri RM. Soeparto
sempat memperdalam pengetahuan, menekuni belajar bahasa Belanda dan Sastra
Jawa. Pada suatu ketika terjadi perselisihan paham dengan Bupati Demak maka RM.
Soeparto mengundurkan diri dari perkerjaan Mantri.
RM. Soeparto merasakan penderitaan dan merasakan
tekanan dalam hidupnya, oleh karena itu beliau menjelajahi Pulau Jawa dengan berjalan kaki dan kadang-kadang
naik kereta api. Dengan pengalaman dari perjalanan yang dilakukannya, mulai
menimbulkan kepekaan terhadap lingkungan sosial yang akan mempengaruhi
pandangannya dikemudian hari. Soeparto kemudian mendapatkan kesempatan untuk
bersekolah lagi di Belanda dengan biaya sendiri dari hasil yang ditabungnya.
Sesuai dengan cita-citanya, Suryo Suparto kemudian belajar sastra di Fakultas
Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Tapi beliau gagal mendapatkan gelar
sarjana, namunkini Suparto bertambah ilmunya, luas wawasannya, dan
pengalamannya. Di Belanda RM. Soeparto berkesempatan untuk masuk dinas cadangan
militer pada tahun 1915. keberhasilan Suparto pada bidang militer yangberhasil
meraih pangkat Letnan Dua di Belanda. Program wajib militer kemudian
dikembangkan agar diterima Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian sampai
terbentuknya Parlemen.
RM. Soeparto juga ikut dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsanya. Ia bergabung dengan perkumpulan yang ingin memperjuangkan
kemerdekaan melalui pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, yakni Budi Utomo.
Pendapatnya dan pemikirannya untuk mendukung dan mempropagandakan Budi Utomo di
Surakarta selalu dituangkan dalam tulisan pada surat kabar Dharmo Kondo,
sehingga ia dikenal sebagai propagandis pergerakan bangsa yang patut dipuji.
Ia mulai mempunyai cita-cita agar Praja
Mangkunegaran, walaupun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil di bawah Pemerintahan
Hindia Belanda, namun bisa memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat membawa nama
baik Praja Mangkunegaran di seluruh daerah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda. Cita-cita ini kemudian diwujudkan oleh RM. Soeparto, setelah ia naik
tahta menjadi Mangkunegoro VII.
Setelah beliau berusia 40 tahun RM. Soeparto
menyandang gelar Mangkunegoro VII. Satu tahun setelah penobatan pada tanggal 21
Februari 1917 Mangkunegoro VII menyampaikan pidato yang tertuju kepada keluarga
Mangkunegaran, para prajurit, nara Praja, dan orang-orang Belanda yang bertugas
di Mangkunegaran. Bunyi pidato antara lain: “terlebih dahulu aku harus
memikirkan kehidupan rakyat kecil yang sejak dahulu sampai sekarang membuat
Mangkunegaran menjadi kaya dengan Perusahaan – Perusahaan yang sangat maju,
padahal selama hidupnya selalu sengsara, hasil bumi sangat kurang karena
kekurangan air. Penghidupan para buruh sangat menyedihkan, rumahnya sangat
jelek dan sangat tidak pantas, mereka tidak mendapatkan pendidikan dan
pelayanan yang baik, yang membina pun tidak ada. Oleh karena itu aku harus mengusahakan
kesejahteraan rakyat kecil. Engkau semua harus gotong royong membantu dengan sungguh-sungguh
memperbesar semangat agar Mangkunegaran bertambah sejahtera serta kehidupan
rakyat kecil dapat enak dan tentaram hatinya, tidak harus lebih daripada itu.
Engkau semua harus berusaha sampai titik darah penghabisan agar perasaanmu
meningkat dapat mandiri, mempunyai inisiatif untuk kepentingan orang banyak dan
tahu kewajiban serta berusaha meningkatkan keadilan serta ketentraman bagi
rakyat kecil”. Contoh, pedagang oprokan atau barang bekas yang tidak mempunyai
tempat, akhirnya dibuatkan Pasar Triwindu. Selanjutnya untuk kebutuhan
rekreasi, masyarakat dimanja dengan Taman Balekambang, Taman Tirtonadi dan Minapadi
yang sohor keindahannya itu.
Beliau tidak terlalu memegang teguh kebudayaan,
sehingga penghalusan yang ditujunya bersifat feminin. Sebagai raja yang modern,
dia berusaha keras menjunjung derajat bangsanya dan memajukan kebudayaan Jawa.
Menjadi raja pelindung dan ahli dalam musik Jawa, olahragawan, raja yang memajukan
drama dan arsitektur. Mangkunegara VII juga memperkenalkan mode pakaian jas
paduan dari busana Jawa dan Eropa, hingga menjadi trend pakaian yang dipakai
oleh para tokoh pergerakan saat melakukan pertemuan. Selain itu, Mangkunegara
VII juga memprakarsai berdirinya Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1
April 1933 sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. SRV mempunyai peralatan
yang canggih sehingga memiliki jangkauan luas hingga Belanda dan SRV akan
menjadi bibit tumbuhnya Radio Republik Indonesia (RRI).
MANGKUNEGARA VIII
Riwayat kepemimpinan Mangkunegara VIII di Pura Mangkunagara
dengan demikian dimulai sejak pemerintahan Jepang bercokol di Indonesia,
tepatnya setelah wafatnya Mangkunegara VII pada tanggal 19 Juli 2604 (1944),
dikarenakan sakit. Disaat pendudukan Jepang kehidupan Kraton Mangkunegara dalam
kondisi pahit dan getir, dan dalam kondisi itu Mangkunegara VIII tetap memegang
otonomi dan selalu mencari jalan untuk meringankan beban rakyat dengan
melindungi dari kekejaman tentara Jepang. Dalam masa pemerintahan Jepang
Mangkunegara VIII menerima tambahan kekuasaan untuk mengurusi bidang
pendidikan; SR, SMP,SMA, juga mengurusi pegadaian. Urusan bidang keamanan
khususnya kepolisian dan ketentaraan tetap ditangani oleh pemerintahan Jepang. Kemudian
setelah Indonesia merdeka, atas dasar Surat Ketetapan dari Presiden Republik
Indonesia yang pertama Ir. Soekarno, tertanggal 19Agustus 1945, yang menetapkan
bahwa Mangkunegaran adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Atas dasar ketetapan Presiden Republik Indonesia
tersebut, Mangkunegara ditugasi untuk menjaga keselamatan dan membina kerabat
beserta rakyat Mangkunegaran. Berkaitan dengan itu pula Pabrik Gula Colomadu
dan Tasikmadu tidak lagi dikuasai oleh KGPAA Mangkunagoro VIII , karena telah
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. Dari peristiwa tersebut tampak bahwa
kekuasaan kraton sebagai pusat pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja
telah tergeser. Sehubungan dengan hal tersebut, raja/kraton mulai memberdayakan
dan mencurahkan perhatian pada kegiatan-kegiatan budaya. Kegiatan-kegiatan
budaya tersebut ditekankan pada kegiatan ritual-ritual yang terdapat di dalam
istana. Penekanan kegiatan-kegiatan tersebut juga sebagai upaya mengembangan
pusat budaya, karena kraton merupakan pusat budaya. Kegiatan yang menunjang pengembangan
budaya diantaranya dengan merenovasi secara besar-besaran dengan cara modern.
Segala hal yang dilakukan Mangkunegara VIII dalam
perjalanan kepemimpinannya di Pura Mangkunegaran tidak lepas dari Misi Agung yang
diembannya yaitu adalah:
a. Melestarikan
peninggalan budaya luhur Mangkunegaran untuk disumbangkan kepada pembangunan
nasional.
b.
Menggalang
persatuan antar – kerabat.
c. Meningkatkan potensi
kerabat Mangkunegaran untuk lebih berpartisipasi dalam mensukseskan pembangunan
Nasional.
Ia juga seorang pendiri Himpunan Kerabat Ageng
Mangkunegaran Suryosumirat, tidak hanya itu ia juga mendirikan Mangkunegaran
Palace Hotel di gedung militer Legiun Mangkunegaran. Mangkunegaran juga
mempunyai seperti perusahaan pembuat gamelan juga menjual hasil buatan
gamelannya. Menerjemahkan buku-buku di Rekso Pustoko dari bahasa jawa ke bahasa
latin. Pengadaan Kantor Biro Pariwisata, membuat taman anggrek di Ujung Puri
juga peranan Mangkunegoro ke VIII. Mendirikan Koperasi Keluarga Mangkunegaran
tanggal 22 Januari 1980. Membentuk tim Kepala Dinas Urusan Istana Mangkunegaran
dengan tugas :
1. Kirab pusaka dan jamasan pusaka dalem.
2. Wilujengan ruwahan salajengipun sadranan di kuburan
leluhur Mangkunegaran.
3. Halal bihalal
Peranan Mangkunegoro VIII sangatlah besar baik
dalam maupun luar untuk Istana maupun Negara. Mangkunegoro untuk menghadapi
gerakan anti-swapraja melakukan beberapa kebijakan kebijakan yang dinilai dapat
mengatasi. Gerakan anti swapraja yang berlarut larut menjadi semakin seru
dengan tambahan kekuatan yang berasal dari pihak oposisi yang membuat wadah
yang tergabung dalam persatuan perjuangan ke Surakarta, setelah ibukota
Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta akibat pertentangan
kembali dengan Belanda, kehadiran pihak oposisi ke Surakarta mengakibatkan
situasi politik di Surakarta semakin keruh dan kacau. Persatuan perjuangan dari
pihak oposisi dan anti swapraja akhirnya semakin membangkitkan gerakan anti
swapraja di Surakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku
Budi Raharjo, Wanto. 2010. Skripsi : Perumahan dan Hotel Milik Mangkunegaran Tahun 1917-1937. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sumber online
“Mangkunegara VII, Raja Jawa yang Modern”. http://kabutinstitut.blogspot.com
/2009/07/mangkunegara-vii-raja-jawa-yang-modern.html. Diakses pada 06 Juni 2012.
“BERBAGAI
KEBIJAKAN POLITIK KGPAA MANGKUNEGARA VIII PADA PERIODE SETELAH KEMERDEKAAN
INDONESIA (1945-1952)”. http://macheda.blog.uns.ac.id/2011/07/19/berbagai-kebijakan
-politik - kgpaa-mangkunegara-viii-pada-periode-setelah-kemerdekaan-indonesia-1945-1952/
.Diakses pada 06
Juni 2012.
0 Comments