Pemilihan
umum yang diadakan pada September dan Desember 1955 sangat menarik sebagai
suatu experimen demokrasi. Kabinet saat itu, koalisi PNI-Masjumi-Sosialis yang
diketuai oleh Wilopo dari PNI, sebenarnya sudah lumpuh karena berbagai
kericuhan di parlemen dan di luar parlemen berlanjut selama berbulan-bulan
setelah peristiwa 17 oktober. Demikianlah maka pada November 1952 kabinet
Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru, dengan dukungan
berbagai kalangan yang vokal secara politis. Dalam bentuk yang sudah diubah
disana-sini rancangan itu menjadi undang-undang. Undang-undang baru itu
menetapkan pemilihan umum secara langsung. Selain itu akan diadakan dua kali
pemilu yakni untuk memilih anggota
parlemen dan majelis konstituante. Gagasan awal Wilopo adalah bahwa suatu badan
pekerja Parlemen akan dibentuk oleh suatu majelis konstituante hasil pemilihan
umum. Akan tetapi karena berbagai alasan politis dan konstitusional yang rumit,
gagasan awal tersebut ditinggalkan demi terlaksananya pemilihan umum untuk dua
badan yang berbeda, yaitu Parlemen dan Konstituante.
Sistem
pemilihan umum yang ditetapkan dengan undang-undang 1953 itu banyak dikritik
sebagai perfeksionis dalam hal demokrasi, terlalu rumit dan karena itu lamban
dan mahal. Kritik-kritik itu banyak benarnya. Akan tetapi dilihat dari beberapa
segi, khususnya ketentuan mengenai badan-badan pemilihan umum dan pemungutan
suara undang-undang ini adalah hasil kerja yang sangat hati-hati yang berusaha
menyesuaikan tehnik pemilihan umum dengan keadaan Indonesia.
Bahkan
setelah rancangan undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang masih ada
sejumlah hambatan politik yang mencegah pemilihan umum dilaksanakan dengan
segera. Upaya kabinet Wilopo untuk membentuk sebuah Panitia Pemilihan Umum
Pusat gagal, karena tidak tercapai kata sepakat antara rekan-rekannya dalam
koalisi mengenai susunan panitia itu. Baru pada Desember 1953 terbentuk Panitia
Pemilihan Indonesia. Dalam badan ini tidak ada wakil dari partai-partai yang
beroposisi terhadap kabinet pimpinan PNI yang diketuai oleh Ali Sastroamidjojo.
Pihak oposisi dapat memberikan bukti-bukti bahwa kabinet Ali dengan sengaja
menunda pemilihan umum sampai semua partai yang tegabung dalam kabinetnya
berhasil memperkuat kedudukan.
April
1955 Panitia Pemilihan Indonesia mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk anggota
Parlemen dan anggota Konstituante akan dilaksanakan masing-masing pada 29
September dan 15 Desember 1955. Keraguan
muncul ketika terjadi peristiwa pada 27 Juni 1955 yang memicu krisis
baru militer-politik dan mengakibatkan kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh. Tetapi
kabinet yang menggantikan Ali yakni Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi
berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pada tanggal yang telah ditetapkan.
B.
Kampanye
Kalau kita perhatikan partai-partai
politik di Indonesia pada masa sebelum pemilihan umum antara 1945 dan awal
1953, akan terlihat garis batas yang jelas antara masa sebelum dan sesudah
penyerahan kedaulatan. Pada masa 1945-1949, partai-partai tidak hanya bertarung
memperebutkan kekuasaan politik di Republik ini. Partai-partai juga bertarung
secara politik dan melalui sayap militer masing-masing untuk mempertahankan
kelangsungan hidup Republik Indonesia. Terdorong untuk menggalang dukungan
aktif petani terhadap Republik, partai-partai memperluas pengaruh di desa-desa.
Di pedesaan hanya sedikit pesaingan diantara partai-partai yang muncul adalah
kecenderungan suatu wilayah yang luas menjadi daerah pengaruh partai tertentu.
Akibatnya di tingkat desa tidak banyak dilakukan upaya untuk mendirikan
organisasi resmi partai.
Disisi lain dalam kurun waktu 1950-1953
setelah tercapai kemenangan atas Belanda dan partai-partai politik mengerahkan
seluruh perhatian pada pertarungan kekuasaan diantara mereka sendiri, kegiatan
partai-partai ditingkat desa merosot. Dengan maksud memanfaatkan seluruh sumber
daya yang dimiliki untuk memperoleh hasil maksimum ditingkat nasional,
partai-partai politik sibuk memperluas pengaruh pada kelompok-kelompok sosial
yang paling kuat. Demikianlah maka persaingan antara partai-partai terjadi
dikota-kota besar, di perkebunan dan pertambangan, dan di daerah-daerah yang
banyak didiami bekas pejuang revolusi. Persaingan jarang terjadi dikota
kawedanan atau kota kecamatan apalagi di desa.
Daya tarik dan himbauan kampanye
partai-partai tidak bisa dipahami kecuali bila diletakkan pada latar belakang
isu-isu yang diperjuangkan dalam kegiatan politik di Jakarta atau ditingkat
nasional sebagaimana disiarkan dalam surat kabar ibu kota. Ketika undang-undang
pemilihan umum disahkan pada April 1953, kabinet Wilopo, suatu koalisi Masyumi
dan PNI sudah goncang. Itulah sebabnya hal pokok yang menentukan isi kampanye
di Jakarta atau tingkat nasional adalah pertentangan antara Masyumi dan PNI.
Dalam pidato kampanye mengenai tokoh-tokoh
partai, tekanan juga sering diberikan pada peranan sang tokoh sebagai pejuang
nasionalis. Hal lain yang ditonjolkan adalah kejujuran, keahlian, tindakan
tegas dan radikal dan kewibawaannya sebagai “bapak” yang disegani. Dalam
kampanye komunis, sang tokoh digambarkan sebagai “saudara”dan “kawan” yang
memahami rakyat karena dia juga berasal dari rakyat. Di tingkat desa, kampanye
umumnya juga menonjolkan ciri-ciri pribadi tokoh-tokoh desa.
Sejarah partai dan tokoh-tokohnya
ditonjolkan dalam kampanye di semua tingkat, tanda gambar ditonjolkan terutama
dalam kampanye di tingkat desa. Setiap partai menyusun tafsiran-tafsiran yang
menarik dari sisi pola budaya nasional dan daerah.
Pemilu tahun 1955 tidak menjamin
kelanjutan sistem demokrasi parlementer. Sistem itu malah dihapuskan hanya
beberapa tahun sesudahnya. Hal tersebut memang besar ironi. Kampanye pemilu
yang sangat sengit itu dan berlangsung lama sekali yang memperuncing konflik
sosial di banyak daerah. Ketiadaan konsensus politik yang mencolok pada masa
kampanye itu menjadi jelas lagi pada
masa pasca pemilu, yaitu pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo kedua (Maret
1956-Maret 1957). Dari empat partai yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955,
PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili dalam kabinet Ali
itu. Tetapi, konflik PNI dan Masyumi berjalan terus di dalam kabinet itu,
sehingga kabinet dilihat lemah dan kurang tegas. Hal itu menyuburkan lahan bagi
beberapa aktor politik yang dari dulu merasa diri dikesampingkan oleh sistem
demokrasi parlementer. Yang paling nyata Presiden Soekarno dan pimpinan
tentara.
Ratifikasi UU Pemilu, menurut Feith,
menjadi titik awal berlangsungnya beberapa aspek kampanye partai-partai
politik. Pengesahan tanda gambar partai pada 31 Mei 1954 oleh Panitia Pemilihan
Indonesia menandai tahap kampanye berikutnya. Setiap partai politik menerapkan
strategi kampanye yang beragam, mulai dari menyelenggarakan rapat umum atau
rapat anggota di tingkat nasional sampai desa, perayaan ulang tahun atau hari
besar agama, pawai, memutar film, memperagakan lambang atau tanda gambar partai
dengan beragam material dan melalui berbagai media, memasang spanduk, kampanye
melalui media massa atau penyebaran pamphlet dan brosur, kunjungan dari rumah
ke rumah, dan lain-lain. PKI – dan dalam skala yang lebih kecil, PNI --
menyelenggarakan pertunjukan-pertunjukan kesenian untuk menarik perhatian massa
pemilih.
Selama kampanye para partai besar sangat menyadari bahwa pentingnya
mempunyai banyak anggota, jadi hampir setiap partai bekerja keras mencari
anggota baru sebanyak-banyaknya. Selain anggota partai-partai juga terpengaruh
oleh sumber keuangan ini digunakan untuk membangun jaringan organisasi untuk
konferensi dan pelatihan, pemeliharaan
kantor, gaji pegawai. Selain anggota dan keuangan ada pula faktor yang tak
kalah penting dalam kampanye yaitu sumberdaya sosial. Hal ini menjadi penting
karena hanya partai-partai yang memiliki hubungan sosial dan politik di
desa-desa yang akan mampu membangun jaringan organisasi di berbagai tingkat
satu sama lain golongan sosial yang berpengaruh di desa. Sehingga mereka dengan
mudah mencari anggota-anggota baru.
C. Penyelenggaraan Pemilu 1955
a.
Pemilihan
Umum Parlemen 29 September 1955
Sistematika
Pemilihan
Pada 29 September 1955, atau tidak lama setelahnya
lebih dari 39 juta orang Indonesia datang ke tempat pemungutan suara. Sebanyak 37.875.299, atau 87,65 persen dari
43.104.464 orang yang terdaftar sebagai pemilih di tahun sebelumnya memberikan
suara yang sah. Pemungutan suara yang
dilakukan tepat pada tanggal 29 September dapat dilakukan di sekurang-kurangnya
85 persen dari lebih kurang 93.532 tempat pemungutan suara, dan diselesaikan
seluruhnya pada tanggal 29 November.
Pemungutan suara diselenggarakan oleh Panitia
Penyelenggaraan Pemungutan Suara yang multi-partai, beranggotakan lima sampai
sebelas orang yang dicalonkan dan dilatih untuk menjalankan tugas itu oleh
Panitia Pemungutan Suara Kecamatan.
Kedudukan sebagai ketua Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara
terkadang dijabat oleh kepala desa atau salah seorang anggota dewan desa,
tetapi tidak selalu demikian.
Pemungutan suara dimulai pukul delapan pagi dengan
pembacaan seperangkat petunjuk oleh ketua Panitia Penyelenggaraan Pemungutan
Suara dan memperlihatkan kepada umum bahwa kotak suara kosong. Setelah itu dimulai pemungutan suara. Seorang pemilih mendatangi dua anggota
panitia yang duduk di pintu masuk wilayah tempat pemungutan suara. Biasanya ia memberikan surat panggilan yang
telah disampaikan kepadanya beberapa hari sebelumnya, yang memberitahukan
tempat ia harus memberikan suara, meski menurut hukum ia tidak wajib menunjukan
surat panggilan itu. Anggota panitia
akan memeriksa namanya pada daftar dan mempersilahkannya masuk.
Tak lama kemudian, setelah tiba waktu gilirannya,
pemilih dipersilahkan menuju meja ketua Panitia Penyelenggaraan Pemungutan
Suara. Di sini ia diberi kertas suara
yang terlipat, yang bagian luarnya ditandatangani oleh ketua dan dua anggota
panitia yang bersama-sama duduk di belakang mejanya.
Dengan membawa surat suara, ia pergi
sendirian ke dalam salah satu dari bilik-bilik yang terpisah tempat ia memberi
tanda pada surat suara. Memberi tanda
dilakukan dengan melubangi salah satu tanda gambar, atau, dan ini tidak banyak,
dengan menuliskan pilihan, yaitu menyalin nama calon yang ada pada daftar calon
yang ditempelkan pada dinding bilik.
Setelah melipat kembali surat suaranya, pemilih membawanya ke kotak suara,
memperlihatkannya kepada anggota panitia yang bertugas di sana untuk
menunjukkan bahwa tiga tandatangan yang diharuskan sudah benar tercantum pada
surat suara itu, kemudian memasukkannya ke dalam kotak, dan selanjutnya ia
pergi meninggalkan tempat itu.
Pemungutan suara diselenggarakan di berbagai tempat,
biasanya di gedung-gedung umum seperti sekolah atau di bangunan murah dari
bambu yang didirikan di tempat-tempat umum khusus untuk keperluan pemungutan
suara, tetapi kadang-kadang juga di rumah tokoh-tokoh desa.
Penghitungan suara dilakukan di muka umum oleh Panitia
Penyelenggara Pemungutan Suara setelah pukul dua siang atau pukul berapa saja
setelah pemungutan suara selesai. Di berbagai tempat sering setelah tengah
malam. Setelah hasil penghitungan suara diumumkan, surat suara dibawa ke
Panitia Pemungutan Suara Kecamatan yang mengirimkannya ke Panitia Pemilihan
Kabupaten. Disitu penghitungan diperiksa dan hasil akhir diumumkan satu, dua,
atau tiga bulan kemudian dalam suatu rapat umum.
Permasalahan
Yang Timbul
Pemungutan suara ini suatu prestasi besar kalau kita
ingat bahwa seluruh organisasi pemilihan umum itu bekerja atas dasar prinsip
administrasi yang baru, yaitu kerjasama antara panitia-panitia multi-partai dan
pamong praja yang jadi ketuanya, dan bahwa Panitia Penyelenggaraan Pemungutan
Suara itu sendiri adalah badan multi-partai, dengan keanggotaan yang sering
terdiri dari orang-orang buta huruf dan hanya punya kaitan tidak langsung
dengan pemerintahan umum.
Walau beberapa pihak berpendapat bahwa pemilihan umum
tahun 1955 adalah pemilihan umum yang paling jurdil dan luber, tetapi hal ini
tidak bisa menutup fakta-fakta bahwa saat itu pula terjadi peristiwa-peristiwa
yang sedikitnya bisa menciderai penyelenggaraan pemilihan umum.
Dimulai dari permasalahan teknis , di sejumlah tempat
khususnya di kota-kota ada kekacauan
dalam pengiriman surat panggilan. Di
tempat lainnya pemungutan suara berjalan sangat lamban karena anggota Panitia
Penyelenggaraan Pemungutan Suara kurang latihan. Sedangkan di beberapa tempat lagi
penghitungan suara tidak cermat dilakukan.
Dalam pemilihan pertama juga terdapat kelemahan yaitu tidak terjaminnya
kerahasiaan pada saat pemberian suara dikarenakan terjadinya pengintipan oleh
orang-orang berkuasa ke bilik-bilik pemilihan.
Selain masalah teknis, juga terjadi sejumlah teror
yang bertujuan menakut-nakuti pemilih dengan maksud menaikan suara untuk
Masyumi. Kelompok Darul Islam Jawa Barat
di bawah Kartosuwiryo mengeluarkan beberapa ancaman keras terhadap orang yang
memberikan suara. Selain teror,
kekacauan pun ditimbulkan oleh beberapa kelompok, misalnya gerombolan Sulawesi
Selatan di bawah Kahar Muzakar cukup berhasil melaksanakan keputusan politiknya
untuk secara aktif mengacau pemilihan umum.
Lima orang tentara dan petugas tempat pemungutan suara mereka
bunuh. Beberapa lainnya mereka culik dan
ada beberapa tempat pemungutan suara dibakar.
Selain itu surat suara dan kotak suara di kabupaten Makassar, Pare-Pare,
dan Donggal juga dicuri.
Laporan-laporan mengenai intimidasi pada tahap akhir
kampanye dan pada hari pemungutan suara datang dari hampir seluruh penjuru
Indonesia. Tetapi ada dua tempat yang
menonjol dalam hal ini. Pertama, banyak pemilih merasa ditekan
untuk memilih Masyumi di berbagai tempat di Aceh dan di Jawa Barat dimana
kekuatan Darul Islam harus diperhitungkan.
Kedua, di berbagai tempat di
Jawa Timur dan Jawa Tengah, intimidasi banyak sekali dan luas, yang dilakukan
oleh lurah-lurah PNI dan pembantu mereka, dan di tingkat yang lebih rendah oleh
orang-orang Komunis penjaga keamanan desa.
Contoh lain mengenai intimidasi yang memang telah
dilakukan, di sejumlah desa Jawa lurah mengancam pemilih dengan hukuman penjara
dan denda yang besar kalau tidak memilih PNI.
Di desa-desa lain lurah mengancam akan menunda pesokan garam dan
barang-barang kebutuhan lainnya yang biasa mereka bagikan. Di desa-desa lain, jago-jago desa yang
digunakan oleh lurah mengesankan
bahwa penduduk akan dipaksa meninggalkan desa kalau tidak mengikuti petunjuk
lurah. Juga tidak dapat diragukan bahwa
terjadi intimidasi ketika pemuda-pemuda Komunis, yang bersenjata pisau dan
pentungan untuk tugas pengamanan desa bergerak dari rumah ke rumah pada malam
hari mengumpulkan tandatangan dan cap ibujari keanggotaan organisasi-organisasi
front Komunis, atau mengancam
menculik orang-orang yang tidak memilih palu arit.
b.
Pemilihan
Umum Konstituante 15 Desember 1955
Setelah dilaksanakannya pemilu pertama yaitu pemilihan
umum Parlemen, segera pada tanggal 15 Desember di tahun yang sama dilakukan
pemilihan umum Konstituante. Sistematika
pemilihannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan umum pertama.
Sering
dikatakan partai-partai nyaris kehabisan dana. Banyak partai dan organisasi kecil menyerah
setelah hanya memperoleh jumlah suara yang tidak berarti pada pemilihan umum
Parlemen. Namun, yang paling penting,
sangat banyak pemimpin politik percaya hasil pemilihan umum kedua tidak bisa
dibuat berbeda radikal dengan hasil pemilihan umum pertama.
Perbedaan
Dengan Pemilihan Umum 29 September
Berdasar pengalaman yang diperoleh dalam pemilihan
umum Parlemen, Panitia Pemilihan Indonesia mengeluarkan sejumlah instruksi baru
mengenai bidak teknis dan kelembagaan untuk pemilihan Konstituante. Diantaranya yakni, pertama jumlah tempat pemungutan suara meningkat sehingga tidak
akan ada yang harus melayani lebih dari 750 pemilih. Kedua,
ketentuan-ketentuan baru dibuat untuk memudahkan pemilih memberikan suara tanpa
harus hadir (absentee votes). Ketiga, dilakukan pemasangan tirai
setinggi leher di bagian belakang bilik pemberian suara, hal ini mengakhiri
kegagalan pada pemilu pertama 29 September lalu karena dengan adanya pemasangan
bilik yang lebih tertutup semakin menjamin kerahasiaan pemilihan. Keempat,
dari sisi penyelenggaraan, kelemahan-kelemahan pemilihan umum 15 Desember lebih
sedikit jika dibandingkan dengan pemilihan umum 29 September. Kelima,
dari sisi penjagaan keamanan pemerintah jauh berhasil. Keenam,
prosentasi orang yang terdaftar dan memberikan suara di daerah bergolak, di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, meningkat dari 71,4 persen menjadi 76,4
persen. Ketujuh, pemilihan umum Konstituante boleh dikatakan dapat menekan
angka kecurangan dan intimidasi yang terjadi pada hari pemungutan suara maupun
sebelum itu, karena bukti-bukti yang ada menunjukan jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan dengan pemungutan suara pertama.
Kedelapan, partisipasi pemilih
yang sangat tinggi seperti yang dilihat pada pemilihan umum pertama ternyata
agak sedikit rendah angkanya pada pemilihan umum kedua, jumlah orang yang memberikan
suara mencapai 89,33 persen dari seluruh pemilih yang terdaftar, atau hanya
2,21 persen lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan umum pertama.
Suasana baru kemudian muncul di tempat-tempat
pemungutan suara, suasana seperti perayaan nasional, serius tetapi tidak lagi tegang. Ketertiban mewarnai tempat-tempat itu, akan
tetapi reaksi dominan para pemilih adalah perasaan lega, bangga, dan puas. Banyak penduduk desa, begitu pula penduduk
kota, sangat gembira setelah memberikan suara, bangga karena bisa
berpartisipasi dalam peristiwa yang penting itu.
Memberikan suara membuat si penduduk desa merasa
penting, perasaan turut berperan dalam sesuatu yang besar. Dia bukan merasa ikut memerintah negerinya,
tetapi merasa dirinya bagian dari bangsanya dalam arti upacara yang penuh
perlambang. Dan pada umumnya, dia bisa
melihat bahwa pemilihan umum berarti dia memiliki hak untuk memilih dari
kelompok-kelompok sosial di desanya yang berkedudukan lebih tinggi dari dia dan
saling bersaing untuk memperoleh dukungannya.
0 Comments