Gambar: Schouwburg atau Gedung Kesenian di Solo
sumber: KITLV
Modernisasi telah masuk dalam perkembangan sejarah hiburan perkotaan
Surakarta. Salah satu bentuk modernisasi tersebut dapat dilihat dari
perkembangan fasilitas kota Surakarta yang menjelma menjadi kota modern pada sekitar
awal abad XX. Hal ini dibuktikan dengan tiga poros kekuatan besar yang ada di
Surakarta yaitu Kasunanan, Mangkunegaran, dan pemerintah Kolonial Belanda yang
saling berlomba-lomba untuk membangun kota Surakarta menjadi kota yang modern.
Fasilitas transportasi perkotaan Surakarta telah memadai dengan adanya empat
stasiun aktif yang ada di kota Surakarta yaitu stasiun Purwosari (1875),
stasiun Balapan (1910), stasiun Jebres (1884), dan stasiun Solo Kota (1922).
Jalur trem yang membelah tengah kota atau sepanjang Poerwosariweg juga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
Aktivitas di kota Surakarta
tidak hanya berlangsung pada saat pagi atau siang hari, namun juga terdapat
aktivitas yang dilakukan pada malam hari. Guna menunjang aktivitas yang
dilakukan di malam hari maka diberikan penerangan berupa lampu ting atau lampu teplok yang memakai kaca
berbentuk segi empat. Lampu ting
tersebut ditata secara tergantung di tengah jalan raya dengan jarak 1 meter
setiap lampunya. Keberadaan lampu ting sangat
membantu penerangan jalan di malam hari, hanya saja ketika kondisi cuaca buruk atau
terjadi hujan dan angin sering mengakibatkan kerusakan pada lampu ting. Barulah pada tahun 1902, teknologi
listrik masuk di Surakarta dengan sebuah pembangkit listrik yang kemudian
berkembang menjadi sebuah perusahaan listrik “Solosche Electriciteist Maatschappij”. Pembangunan perusahaan
listrik tersebut mendapatkan dukungan dari para saudagar yang membutuhkan
teknologi baru ini. Menurut R.M. Sayid dalam Babad Sala (2001) pada saat itu terjadi transformasi pada
penerangan kota dari lampu minyak menjadi lampu kota bertenaga listrik. Penerangan
jalan-jalan di perkotaan bermanfaat untuk mempermudah hubungan antar kampung di
waktu malam hari dan juga dapat mengurangi tindak kejahatan berupa begal dan kecu di Kota Surakarta. Selain berkaitan dengan penerangan,
keberadaan lampu kota juga berkaitan dengan peningkatan perekonomian di
sepanjang jalan Poerwasarieweg seperti
halnya bertambahnya waktu produktif yang diterapkan di toko-toko maupun hotel.
Orang-orang Eropa yang tinggal
di Surakarta ternyata juga membawa bentuk-bentuk kesenian kota, hiburan, dan
berbagai macam bentuk kesenian modern. Bagi orang-orang Eropa, hiburan menjadi
kebutuhan yang tidak bisa dikesampingkan. Bagi mereka, hiburan menjadi salah
satu bagian penting dalam kehidupan keseharian mereka. Maka tidak heran, ketika dalam setiap
kesempatan orang-orang Eropa selalu meluangkan waktunya untuk menghibur diri
dengan bernyanyi, menari, menenggak wine,
atau bahkan menyaksikan film di bioskop.
Kemajuan kota Surakarta juga
tidak lepas dari semakin berkembangnya industri perkebunan yang ada di wilayah
Karesidenan Surakarta. Komoditas utama perkebunan di daerah Surakarta antara
lain adalah kopi, indigo, tembakau, dan gula. Mayoritas perkebunan ini dimiliki
oleh orang asing yang nantinya akan sangat berpengaruh terhadap berkembangnya
fasilitas perkotaan Surakarta. Pemilik perkebunan ini antara lain adalah dari
keluarga Dezentje dan keluarga Harloff, selain itu juga dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan asing seperti Klatensche
Cultuur Maatschappij dan Dorrepaal en
Co.
Bertambahnya komunitas asing
terutama orang Belanda di Surakarta berpengaruh pada perkembangan hiburan yang
semakin semarak di perkotaaan Surakarta. Bedjo Riyanto dalam Iklan Surat Kabar dan
Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915) mengungkapkan bahwa keberadaan orang kulit putih
yang sebagian berprofesi dalam bidang perkebunan ini membutuhkan sebuah tempat
untuk saling berkomunikasi yang di dalamnya terdapat ruang-ruang hiburan kota. Muncullah
beberapa societeit (soos) di kota Surakarta, antara lain: Societeit Harmonie, Societeit Abipraya, dan
Societeit Sasana Soeka. Fungsi dari soos
selain untuk tempat berkumpul adalah untuk pesta dansa namun, juga untuk
menikmati makanan karena terdapat restoran yang menyajikan makanan secara rijstafel di dalam soos. Societeit juga
dilengkapi dengan tempat bilyar atau sering disebut dengan kamer balen. Untuk semakin memanjakan orang yang datang, soos juga menyediakan minuman-minuman
keras seperti wine, jenewer, dan gin.
Kebiasaan untuk datang ke soos ini kemudian menimbulkan suatu
kebiasaan baru bagi para orang Belanda yaitu bermain judi. Kegemaran bermain
judi ini diindikasikan dengan disediakannya roulette
dan meja bermain kartu baccarat. Selain
itu, pacuan kuda di Manahan juga menjadi salah satu arena yang pas untuk
mengadakan taruhan. Biasanya setelah pacuan kuda selesai kemudian dilanjutkan
dengan acara pesta-pesta di Societeit Harmonie. Di soos Harmonie juga menjadi ajang untuk menjalin komunikasi bagi
kalangan orang Eropa dan kalangan elite yang hadir di soos. Sering diadakan pula konser musik-musik klasik dan juga
pertunjukkan drama, seperti toneel, komedie stamboel, dan tableaux vivants.
Semakin banyak hiburan yang
berkembang pada awal abad XX di Surakarta membuat munculnya fasilitas-fasilitas
seni hiburan baru di Surakarta. Listrik yang mulai masuk ke Surakarta pada tahun
1902 juga membuat hiburan mulai berkembang. Hiburan kini berkembang menjadi sebuah
industri yang menjanjikan. Hal ini ditandai dengan kemunculan beberapa bioskop
seperti bioskop Sriwedari, Nieuw Bioscoop
di Pasar Pon, dan Schouwburg
Poerbajan. Hiburan ini menyedot penonton dari berbagai pelosok daerah. Arfani
Muhammad dalam Pengaruh Perusahaan
Listrik Solosche Electriciteit Maatschappij dalam Mendukung Lahirnya Budaya
Perkotaan Surakarta tahun 1900 – 1942 (2008) menuliskan bahwa Residen
Surakarta, F.P Sollewijn Gelpke bahwa priyayi dari Sragen, Klaten, dan Wonogiri
melihat film bioskop yang dibintangi Charlie Chaplin, Rudolf Valentino, Herald
Loyd, dan Gloria Swanson.
Hiburan di Surakarta
semakin berkembang dengan hadirnya bioskop. Keberadaan bioskop di Indonesia
pertama kali diputar oleh orang-orang Eropa sekitar tahun 1900-an, yang
kemudian masuk ke Surakarta dibawa oleh orang-orang Cina di Surakarta.
Pertunjukan bioskop pada tahun 1914 sudah menjadi tontonan umum di Surakarta
melalui pertunjukan keliling di alun-alun baik pada bulan-bulan biasa atau pada
saat musim Sekaten. Bioskop ini mewakili seluruh budaya baru budaya perkotaan
yang tumbuh di Surakarta. Gedung-gedung bioskop kemudian dibangun di
pusat-pusat keramaian kota untuk dapat memudahkan mendapatkan penonton seperti
yang diterangkan Ulwa Humairok dalam Sejarah Perkembangan
Bioskop di Surakarta Tahun 1950-1979
(2010).
Perang Simbol Penguasa di Dunia Hiburan
Elemen utama yang
sangat menentukan dalam sebuah hiburan ada dua, yakni penonton dan konten
acara. Berdasarkan penonton hiburan terbagi menjadi dua yaitu hiburan untuk
kaum elite dan hiburan untuk rakyat biasa. Penonton hiburan yang diperuntukkan
bagi rakyat biasa bersifat pasif, dalam hal ini penonton tidak melakukan
interaksi sehingga penonton hanya menjadi penikmat hiburan yang penuh akan
filosofi. Hiburan yang diperuntukkan kaum elite bersifat hiburan modern yang
disajikan secara terkonsep, sehingga penonton lebih banyak melakukan interaksi.
Hal itu berpengaruh pada tingkat apresiasi terhadap sebuah karya seni, semakin
tinggi status sosial dan ekonomi seseorang maka semakin tinggi pula
apresiasinya terhadap karya seni. Contohnya hiburan soos diminati oleh kaum elite yang kebanyakan memiliki status
sosial ekonomi tinggi.
Dampak
semakin berkembangnya hiburan di Surakarta pada awal abad XX adalah
berkembangnya tata ruang kota yang berpengaruh pada pergeseran identitas
Surakarta sebagai kota budaya. Pada awalnya, yang sudah ada di Surakarta
bersifat sakral dan penuh filosofi, namun setelah kedatangan kaum elite yang
membawa semangat modernitas berupa hiburan-hiburan modern menyebabkan
persaingan simbol gaya hidup perkotaan antara elite dan pribumi. Contohnya ciu dan bir jawa yang menyaingi wine,
genewer, dan gin. Keberadaan soos Harmonie
yang menjadi tempat berkumpulnya para kaum elite kulit putih dengan hiburan
modern seperti dansa, orkestra, dan band mendapat saingan dengan soos Abipraya
yang menjadi tempat berkumpulnya kaum pribumi dengan hiburan tradisional
seperti pertunjukan wayang dan musik gamelan.
Semakin
banyak tempat hiburan yang berkembang di Surakarta pada awal abad XX
mengindikasikan bahwa tingkat sosial ekonomi masyarakat Surakarta yang sudah
semakin tinggi, sehingga berimplikasi pada munculnya budaya konsumerisme
masyarakat perkotaan. Susanto dalam Solo Kota Plesiran
1870 – 1942 (Sebuah Kajian Tourist System Pada Masa Kolonial)menyatakan hal ini dianggap sebagai
peluang oleh komunitas asing untuk membuka komplek pertokoan dan hotel atau penginapan. Antara
lain pertokoan yang telah ada di Surakarta yakni Toko Daging Kemasan
“Parmesan”, Toko Keju “Edam”, Toko Pakaian bagi militer maupun sipil, Toko
Lobato, Toko Ahli Membuat Jam “Fritchi”.
Pengaruh
besar terhadap masyarakat atas hiburan modern ditunjukkan dengan adanya
perubahan gaya hidup. Gaya hidup hedonis
membutakan masyarakat pribumi untuk menjiplak perilaku masyarakat kaum elite
Eropa dengan dalih mengikuti perkembangan zaman yang didominasi oleh budaya
populer. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial mengeluarkan larangan bagi
pribumi yang meniru gaya orang Eropa agar pemerintah kolonial tetap dapat
melakukan politik diskriminasi rasial. Di sisi lain masyarakat pribumi mendirikan
soos Abipraya dengan menerapkan konsep hiburan tradisional agar tetap
dapat meniru gaya orang Eropa. Soos Abipraya
adalah tempat untuk berkumpulnya para kaum priyayi Kasunanan untuk menghabiskan
waktu luang dengan menikmati hiburan berupa pertunjukkan wayang dan alunan
musik gamelan. Hal ini bertolak belakang dengan soos Harmonie yang lebih menerapkan konsep hiburan-hiburan modern
seperti berdansa, minum minuman keras sambil menikmati alunan musik-musik
klasik khas Eropa.
Perang simbol antara kaum
elite Eropa dengan kaum pribumi ini menunjukkan adanya stratifikasi hiburan
yang berkembang di Surakarta pada awal abad XX. Akibat lain dari adanya hiburan
modern ini adalah menurunnya antusias masyarakat terhadap hiburan tradisional. Hiburan-hiburan
sakral dan penuh filosofi tergerus oleh gebrakan hiburan modern yang populer.
0 Comments