Picture source: Tropen Museum
Clifford Geertz membagi suatu sistem sosial dengan
kebudayaannya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik menjadi tiga bagian.
Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan yang intinya berpusat di pedesaan, Santri yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar, Priyayi yang intinya berpusat di kantor
pemerintahan, di kota. Namun demikian, ketiga inti struktur sosial di Jawa;
desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang dalam
pengertian yang luas.
Terdapat tiga inti struktur sosial di Jawa yaitu desa, pasar,
dan birokrasi pemerintah. Substruktur sosial yang pertama adalah desa, yang
diasosiasikan dengan masyarakat petani yang disebut kaum abangan. Kaum abangan
adalah masyarakat yang menekankan aspek-aspek animisme atau kepercayaan
terhadap adanya makhluk halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Tradisi
selamatan merupakan ciri khas masyarakat ini.[1]
Substruktur sosial yang kedua, pasar, diasosiasikan dengan kalangan santri yang dihubungkan dengan elemen
dagang dan pada elemen tertentu di kalangan tani juga. Kalangan santri diidentikkan dengan kelompok yang
melaksanakan doktrin-doktrin Islam yang lebih murni bukan saja pada tatacara
pokok peribadatannya, namun juga dalam keseluruhan yang kompleks dari organisasi
sosial.[2]
Substruktur yang ketiga, birokrasi pemerintah, diasosiasikan dengan kalangan priyayi. Kaum priyayi adalah kalangan masyarakat aristokrat turun temurun yang
mengakar pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial. Kalangan priyayi tidak menekankan pada elemen
animisme dari sinkrestisme Jawa seperti kaum abangan, tidak pula menekankan
pada elemen Islam sebagaimana kaum santri, tetapi menitikberatkan pada elemen
Hinduisme.[3]
Objek penelitiannya adalah Mojokuto, merupakan suatu kota
kecil di Jawa Timur. Walaupun tidak bisa mewakili kebudayaan Jawa secara keseluruhan, namun bagi
Geertz, Mojokuto merupakan suatu tempat di mana makna kejawen yang kuat. Mojokuto begitu kompleks akibat benturan budaya, dimana Islam,
Hinduisme, dan tradisi animisme pribumi berbaur dalam satu sistem sosial. Secara implisit maka dapat
dikatakan bahwa Mojokuto merupakan penggambaran Jawa sebagai pusat peradaban di
Indonesia yang kompleks. Sistem sosial yang dibagi oleh Geertz juga cocok jika
direpresentasikan dengan kehidupan di Jawa pasca kemerdekaan, terutama orde
baru. Abangan merupakan representasi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
kebanyakan massanya dari kalangan bawah terutama petani, Santri sendiri
merupakan gambaran dari Partai Nahdhatul Ulama (NU) yang sebagian besar
merupakan massa dari pesantren di Jawa Timur, dan Priyayi sendiri merupakan
representasi dari pejabat pemerintahan sebagai pemangku pemerintahan.
Abangan, santri, Priyayi milik Clifford Geertz ini nampaknya
tidak sesuai dengan sistem feodal yang masih terjadi di Surakarta. Sistem
sosial yang lebih cocok untuk kondisi Surakarta adalah seperti apa yang
dinyatakan oleh Kuntowijoyo yaitu Raja, Priyayi, dan Wong Cilik.
Keberadaan tiga kelas
sosial ini ternyata saling bersaing, bahkan hingga terjadi benturan-benturan
sosial seperti konflik ideologis dan konflik
kekuasaan politik yang mampu mempertajam konflik keagamaan. Agama bagi Geetz
lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, dimana ia melihat nilai-nilai
tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Dimana dengan kumpulan makna tersebut,
masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya.
Sehingga dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan
pedoman apa yang akan digunakannya.[4]
Ketika ia membagi kebudayaan jawa dalam tiga tipe kebudayaan berbeda, Geertz
melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara tradisi yang
berunsurkan animisme dengan agama Hindu & agama Islam yang datang kemudian,
lalu berkembang menjadi sebuah sinkretisme.[5]
Seperti apa yang telah disebut di atas, kepercayaan keagamaan, preferensi etnis
dan ideologi politik mereka kemudian menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan
yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa, ide umum tentang ketertiban
yang berkaitan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan
pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan. Dalam pengertian tentang agama Geertz
tidak memberikan definisi agama secara jelas. Seperti diungkapkan di atas,
agama Jawa yang menjadi judul dalam buku Greetz ternyata tidak menggambarkan
agama-agama yang ada di Jawa atau agama Jawa itu sendiri. Agama Jawa tidaklah
sama dengan agama Islam di Jawa. Agama Jawa pada pokoknya dimanifestasikan
sebagai pemujaan kepada nenek moyang atau leluhur.
0 Comments