Sejarawan Anthony
Reid pernah mendiskripsikan bahwa Asia Tenggara, terutama Indonesia merupakan
wilayah yang mempunyai karakter geografis dengan banyak wilayah perairan,
intensitas curah hujan yang tinggi, iklim tropis khas wilayah khatulistiwa,
serta kebanyakan penduduknya makan nasi dan ikan. Hal tersebut menjadi salah
satu keunggulan wilayah-wilayah di Asia Tenggara. Hal lain yang sangat menarik
dari wilayah Asia Tenggara adalah perempuannya yang mempesona pelaut-pelaut Eropa.
Perempuan di Indonesia juga dinilai penampilannya lebih
bersih. Pandangan tentang perempuan ideal diungkapkan dalam Serat Wulang Wanito yang ditulis pada
pemerintahan Pakubuwono IX pada tahun 1889. Berisi tentang pedoman bertingkah
laku serta berkepribadian baik bagi perempuan. Disebutkan perempuan yang baik
adalah perempuan
yang mampu menjaga kebersihan diri dan rumah dengan baik dan mampu menyesuaikan
diri dengan zaman. Terdapat filosofi perempuan di Jawa yaitu adalah hanya
untuk macak, manak, lan masak atau berarti dandan,
melahirkan, dan memasak. Hal tersebut menjadi standarisasi bagi kaum lelaki
untuk mencari istri, hanya dengan memilih perempuan yang pandai berdandan,
pintar memasak, serta mampu menghasilkan keturunan sudah cukup untuk menjalani
kehidupan berumahtangga.
Namun sebenarnya perempuan memiliki porsi lebih dalam
berbagai hal, peran perempuan tak hanya sebatas dapur, ruang tamu, dan kamar
saja. Sejarah mencatat perempuan berperan signifikan dalam bidang ekonomi baik
sebagai pedagang lokal maupun sebagai eksportir, sebagai contohnya adalah Istri
Sultan Hassanudin yang berhasil merebut pelabuhan di Aceh, Indragiri, dan
Jambi. Skill negosiasi dan kemampuan penguasaan bahasa asing juga menjadikan
perempuan sebagai diplomat.
Di mata orang-orang Eropa, perempuan Indonesia mempunyai pesona
tersendiri yang terpancar dari segi fisik maupun perannya dalam masyarakat
terutama di Indonesia. Dalam masa awal kedatangan orang Eropa ke Indonesia
mereka terperangah dengan keeksotisan perempuan Indonesia dengan kulit khas
sawo matangnya serta ukuran tubuh yang mungil tidak terlalu tinggi. Kebiasaan
perempuan Indonesia yang sering menggunakan kemben
atau kain panjang yang dililitkan hingga batas dada sehingga payudaranya terlihat
mencuat menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi pelaut-pelaut Eropa
yang datang ke Indonesia. Bahkan di pulau Bali, masih banyak perempuan yang
hanya menggunakan kain atau jarik
yang hanya dipakai untuk menutupi bagian perut hingga batas lutut ke bawah,
sehingga bagian dadanya terlihat dengan jelas karena tidak tertutupi apapun.
Keberadaan busana pada zaman sebelum kedatangan Islam
sebenarnya juga telah diketahui lewat adanya prasasti pada abad ke-9 Masehi
yang menyebut istilah untuk pakaian seperti kulambi
(bahasa Jawa: klambi atau baju).
Masuknya Islam ke Nusantara juga membawa perubahan yang cukup sentral dalam
perkembangan busana yang ada di Nusantara. Perubahan yang sangat penting dalam
berpakaian untuk semua kelompok laki-laki dan perempuan Jawa adalah dari bagian
betis hingga ke bagian atas. Kecenderungan menutup tubuh bagian atas ini
pertama kali muncul di kota-kota pelabuhan Jawa pada abad XVI. Pakaian-pakaian
yang awalnya masih terbuka bertransformasi menjadi pakaian yang lebih tertutup
yang sesuai dengan norma agama dan kaidah agama Islam. Munculah kebaya yang
menjadi trend tersendiri bagi perempuan pada saat tersebut.
Kata kebaya menurut kamus Hobson–Jobson adalah padan kata cabaya, berasal
dari bahasa Arab, dimana “kaba”
berarti pakaian. Istilah ini juga mengacu pada penelusuran linguistik,
ketika Arab akrab dengan istilah abaya.
Istilah kebaya kemudian diperkenalkan oleh bangsa Portugis. Model kebaya
dikaitkan dengan pakaian panjang yang dikenakan oleh wanita Portugis ketika
sampai di pesisir barat daya Malaysia kala itu.[1]
Bentuk awal kebaya adalah seperti baju kurung khas Sumatera,
dimana ketika di Jawa akhirnya dimodifikasi untuk menggantikan pakaian “kemben” khas Jawa. Bahan untuk kebaya bervariasi, mulai dari
kain-kain halus seperti sutra yang berasal dari Timur Tengah dan Cina yang
menjadi pilihan para wanita bangsawan, hingga tekstil biasa atau kain tenun seperti
lurik yang harganya terjangkau. Di masa penjajahan Belanda, budaya yang dibawa
para pedagang Cina, terutama
yang telah dipengaruhi budaya Portugis dan pernah singgah di Malaka memperkaya penampilan kebaya melalui pemilihan bahan yang
lebih transparan serta penggunaan berbagai teknik sulaman yang disebut krancang (bordir terawang). Batas bawah
kebaya pun dipendekkan, dengan guntingan akhir yang meruncing di depan. Kebaya
model ini populer disebut kebaya encim, modis dan penuh warna, disukai
nyonya-nyonya serta gadis-gadis Indo-Belanda dan keturunan Cina.[2]
Secara
perlahan kebaya mulai menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan hingga ke Malaysia.
Menurut catatan dari Stamford Raffles tahun 1817, kebaya dibuat dengan bahan
seperti sutra, katun, kain renda, brokat, dan bludru serta dilengkapi dengan
aksesoris berupa kancing baju dan bros. Aksesoris berupa bros ini juga dapat
menunjukkan status sosial dari pemakainya, bros yang terbuat dari emas sebagai
penanda bahwa si pemakai berasal dari kalangan bangsawan, sedangkan yang
menggunakan bros hanya sebatas berupa peniti
saja atau bahkan polos tanpa bros biasanya berasal dari kalangan rakyat biasa.
Kebaya
ini juga ternyata mampu mengeluarkan pesona sensualitas perempuan Indonesia.
Pembuatan kebaya yang sesuai atau pas dengan ukuran tubuh, ditambah dengan kain
yang digunakan dapat tembus pandang karena bahan kain yang tipis serta
penggunaan jarik dan atau sarong yang
dililit stagen untuk menutupi bagian pinggang hingga kaki mampu menambah
keeksotisan tersendiri bagi pemakainya. Selain itu, motif-motif kebaya dan
jariknya juga berpengaruh terhadap kepribadian pemakainya.
Kebiasaan
menggunakan kebaya ini juga diadaptasi oleh Perempuan eropa yang tinggal di
Indonesia. Kebaya dinilai lebih longgar dan lebih dingin sehingga sesuai untuk
digunakan di wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Kebaya juga cocok untuk
dikenakan dalam kegiatan resmi atau formal seperti pesta-pesta, kunjungan, dan
upacara. Menurut J.G. Taylor dalam “Costume
and Gender in Colonial Java, 1800-1940”, popularitas kain kebaya meningkat
antara abad 19 dan awal abad 20, karena semua kalangan menggunakan kain kebaya.
Mulai dari istana sampai di pasar, yang membedakan pakaian tersebut hanya pada
kualitas kain dan aksesorisnya saja. Kebaya yang digunakan oleh para bangsawan
banyak yang dibuat dari kain sutera, beludru, dan brokat, sedangkan untuk kain
Kebaya masyarakat awam dibuat dari kain katun dan tenun kasar.[3]
Pakaian
atau kebaya secara khususnya adalah sebagai pelindung tubuh bagi perempuan yang
secara harfiah terus berkembang dari waktu ke waktu memberikan sebuah perubahan
pula dalam gaya hidup setiap masyarakat khususnya masyarakat kota. Hadirnya media-media
seperti surat kabar, juga mampu menumbuhkan rasa keingintahuan bagi perempuan
Indonesia dan rasa untuk menikmati gaya hidup Orang Eropa. Perempuan Indonesia
mulai mengenakan pakaian-pakaian yang menjadi mode saat itu dan mulai mengesampingkan
kebaya sebagai identitas bangsa Indonesia. (Andi/Galih)
[1] Denys
Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya. Volume 2, cetakan ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 318.
[2] Hadriani P. Kebaya, Sebuah Catatan Perjalanan dalam http://www.tempo.co/
read/news/20 13/04/25/110475801/Kebaya-Sebuah-Catatan-Perjalanan//. Diakses
pada 11 Desember 2014.
[3] Didiek S. Hargono. Asal Usul Kebaya dalam
https://diekz.wordpress.com/sosial-budaya-2/. Diakses pada 1 Desember 2014.
0 Comments