Kata agraria mempunyai arti yang berbeda-beda antara
bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal
dari kata ager dan agrarius. Kata ager
berarti tanah, pedusunan atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan
perladangan, persawahan, pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria
berarti urusan tanah pertanian, perkebunan. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata
agraria diartikan agrarian yang
selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanahan. Dalam bahasa
Belanda yaitu akker, dalam bahasa
Yunani Agros yang berarti tanah
pertanian.
Dari
pengertian-pengertian tersebut di atas, tampak bahwa yang dicakup oleh istilah
“agraria” bukanlah sekedar “tanah” atau “ pertanian saja. Kata-kata “pedusunan,
“bukit,” dan wilayah”, jelas menunjukan arti yang lebih luas karena di dalamnya
tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Kata “pedusunan” jelas
menunjukan bahwa itu suatu wilayah yang di dalamnya terdapat berbagai macam
jenis tumbuhan, air, sungai, mungkinjuga tambang, perumahan, dan masyarakat
manusia. Di zaman Romawi Kuno, tetntu saja konsep-konsep tentang”lingkungan”,
“seumber daya alam”, dan “pertambangan” belum dikenal sebab kegiatan manusia
yang masih dominan saat itu adalah berburu di hutan atau bertani untuk
menghasilkan pangan.
Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria berarti segala yang berhubungan
dengan urusan pertanian serta urusan pemilikan tanah. KBBI lebih menekankan
arti agraria kepada tanah, maupun segala sesuatu yang berhubungan dengan
pertanian. Itu ditunjukkan melalui kata urusan pertanian dan kemudian aspek
tanah lebih mendominasi pertanian daripada aspek pertanian itu sendiri.
Pengertian
Agraria secara Historis
Secara
historis dalam konteks “pembaruan agraria”, maka diperlukan pelacakan sejarah
mengenai sejarah zaman Romawi Kuno, karena asal-usul agraria bersumber dari
zaman Romawi Kuno. Dimulai dengan gagasan pembagian wilayah yang sudah terjadi
sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan juga tertulis dalam Kitab Perjanjian Lama
yang menggambarkan adanya redistribuasi penguasaan tanah setiap 50 tahun
sekali. Setelah itu, dikenal pula dengan adanya istilah “Land Reform” yang
pertama kali terjadi di zaman Yunani Kuno 594 SM. Hal ini tercatat dalam
Undang-undang Solon yang ditulis dengan bahasa latin, dimana salah satunya
berisi tentang Seisachtheia yang
artinya “mengocok beban” yang memuat ketidakselarasan antara penguasa wilayah
dengan pengunaan bagian wilayah, misal : antara pengguna tanah dengan
penggarap, antara pemilik ternak dengan penggembalanya.
Di
masa Romawi Kuno sendiri pada awalnya telah ditetapkan dengan undang-undang
bahwa setiap warga Negara mempunyai hak untuk memanfaatkan public property, namun lama kelamaan para bangsawan dan
keturunannya memperoleh hak turun-temurun atas sebagian tanah yang memang telah
mereka manfaatkan, mereka disebut patrician.
Wilayah Romawi yang terus berkembang membuat lahirnya strata baru, yaitu plebea atau disebut juga warga baru yang
bukan keturunan warga asli. Mereka tentu saja membutuhkan tanah untuk hidup,
maka lahirlah undang-undang Agraria yang pertama pada 486 SM. Dimana di
dalamnya ditetapkan bahwa sebagian dari tanah-tanah para bangsawan harus
diserahkan kepada Negara yang selanjutnya dibagikan kepada mereka yang
membutuhkan. Namun, hal tersebut ditentang oleh kalangan patrician.
Pertentangan
antara patrician dengan plebean itu akhirnyamelahirkan undang-undang agraria
yang baru, dicetuskan oleh Licinius Stolo yang menetapkan bahwa setiap warga
Romawi berhak memanfaatkan sebagian wilayah Negara dan dibatasi sampai 500 iugera (satuan ukuran luas yang setara
dengan ¼ hectare). Lalu pemakaian yang melebihi batas, maka kelebihannya
diberikaan kepada warga miskin. Setelah semakin banyaknya perang yang tejadi,
maka melahirkan proses akumulasi penguasaan tanah, yang menimbulkan banyak dari
orang kaya dan tentara memanfaatkan tanah sebanyak lebih dari 500 iugera. Situasi ini nantinya akan
melahirkan undang-undang baru yang diprakarsai oleh Tiberius Gracchus pada 133
SM dimana batas 500 iugera dieefektifkan lagi, akan tetapi setiap anak lelaki
dalam satu keluarga boleh menguasai tanah seluas 250 iugera, dengan batasan penguasaan tanah dalam satu keluarga tidak
boleh melebihi 1000 iugera.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunawan
Wiradi, 2009. Seluk Beluk Masalah
Agraria, Yogyakarta: STPN.
Prof.
Dr. H. Muchsin, SH, dkk, 2010. Hukum
Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika
Aditama
Sediono
MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2004. Pembaruan
Agraria : Antara Negara dan Pasar dalam Jurnal
Analisis Sosial vol.9 no.1 April 2004, Bandung : Akatiga.
Internet
:
Dewi
Chalim, Kajian Agraria dalam http://dewichalim.wordpress.com/2009/09/10/kajian-agraria/. Diakses
pada 7 September 2013.
Muhammad
Zharfan ‘Alim, Pengertian Agraria dalam
http://zharfan29.blogspot.com/2011/07/
pengertian-agraria.html. diakses pada 7 September 2013.
0 Comments