Salah
satu ciri khas dari Becak di Surakarta adalah berupa cat batik pada bagian
kanan dan kiri badan becak, serta lukisa-lukisan di badan becak yang muncul
sebagai lukisan rakyat (pop art) yang menunjukan roh kehidupan seni
lukis asli rakyat Solo.[1]
Diketauhi bahwa kebanyakan becak digambari dengan judul TDH (Tarsan Dengan
Harimau), kemudian ada pula becak Benhur, becak Teratai, becak Mawar Merah
yang semuanya berwarna cerah.[2]
Namun dari hal tersebut muncul banyak perbedaan-perbedaan yang sangat mencolok
hingga akhirnya disatukan dengan penyeragaman penggunaan slogan Solo Berseri
yang merupakan akronim Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah yang merupakan slogan
Kota Surakarta. Penyeragaman warna becak, gambar, dan sloganini membuat
becak-becak di Surakarta tampak pucat, kaku dan seperti terbelenggu dalam suatu
peraturan.
Selain
itu, pengecata batik pada sisi kanan-kiri becak juga mulai memudar, dikarenakan
banyak tukang becak telah mengecat ulang becaknya dengan warna polos dan tidak
terikat lagi dengan penyeragaman warna becak. Banyak juga tukang becak yang
menjadikan becaknya sebagai alat komersialisasi suatu produk tertentu. Mereka
membiarkan becaknya digambari hingga ditempeli dengan iklan-iklan rokok dan
juga seluler, bahkan ketika pemilu datang, para tukang becak juga dijadikan
sebagai alat promosi calon-calon wakil rakyat. Hal inilah yang membuat ciri
khas becak mulai memudar dengan perlahan dikarenakan semakin mendesaknya
kebutuhan para penarik becak yang tidak berbanding lurus dengan penggunaan
transportasi becak yang semakin menurun, sehingga para tukang becak menggunakan
berbagai cara untuk mencari tambahan penghasilan yang salah satu caranya dengan
mulai mengkomersialisasikan becaknya untuk media promosi.
Pola
pikir masyarakat Solo diarahkan dan didorong terus menuju pada konsepsi barat.
Pada sebuah konsepsi kapitalis, individualistis, dan materialistis, yang sangat
bertentangan dengan kekeluargaan dan tepo sliro. Makanya, ketika sifat orang
Jawa Solo bergeser pada keadaan seperti di atas mengindikasikan ada kesalahan
dalam frame berpikir masyarakat.[3]
Namun
ada juga pihak yang mengaku keberatan dengan pengkomersialisasian becak,
seperti yang dilakukan Forum komunikasi Keluarga Becak (FKKB), mereka menilai
hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan pengemudi, tapi
becak hanya dijadikan ikon promosi namun tidak ada kepedulian terhadap nasib
pengemudinya. Padahal becak dengan ciri khas cat batiknya mampu menarik minat
warga dan juga wisatawan asing.
Becak Merasa Dianak tirikan di Kota Surakarta
Pekerjaan
sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga
manusia. Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di
kalangan kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar.
Tetapi, berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan anggota kelompok ini di
Solo, persepsi ini belum tentu benar. Sekalipun kebanyakan mereka tidak
menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di Solo sangat berwawasan
tentang situasi sosial dan politik.
Kebijakan
dasar yang diimplementasikan oleh pemerintah Kotamadya Solo menyangkut becak
berganti-ganti antara “penertiban” dan “penghapusan” mereka. Perda No. 9/1991
hendak mengatur keberadaan pengemudi becak di Solo dengan mengurangi jumlahnya
secara bertahap. Berapa banyak pengemudi becak yang dibolehkan beroperasi di
Solo setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa konsultasi dengan beragam
perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini juga mengatur waktu
operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja siang dan waktu
kerja malam. Pengemudi becak dari wilayah lain dilarang memasuki Kota Solo.
Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak memiliki surat izin dan
registrasi.
Peraturan
tambahan mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak
melintasi jalan-jalan tertentu seperti Jalan Jenderal Sudirman, di mana Balai
Kota terletak. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu lintas
dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang
disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah
daerah mengenai transportasi di Solo cenderung meningkatkan level kompetisi di
antara jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan transportasi publik
jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu menambah jumlah rute
transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci . Akibatnya,
kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari pengemudi becak.
Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan sehari-hari
meningkat: Ada rute yang biasa menjadi milik kami, tetapi kini dipakai oleh
angkutan. DLLAJ sangat aktif mengeluarkan izin operasi baru, sehingga pengemudi
becak merasa hak-hak mereka diserobot oleh rute angkutan nomor 03,05, 04, dan
09.[4]
Bagi
masyarakat Surakarta keberadaan becak sangat vital sekali karena digunakan
sebagai alat transportasi sehari-hari dan juga merupakan alat transportasi yang
sangat murah. Becak juga mempunyai peran penting dalam industri pariwisata di
Surakarta, sejak zaman orde baru becak digunakan sebagai transportasi utama di
Kampung Batik laweyan.
Becak
ini menjadi saksi sejarah perjalanan transportasi di Surakarta, dan menjadi
garda paling depan untuk dijadikaan daya tarik wisatawan. Serta keberadaan becak
ini memperkuat citra Surakarta sebagai kota Sejarah, namun pemerintah kurang
memperhatikan nasib becak ini dengan kurangnya prioritas yang didapatkan oleh
para pengemudi becak. Keberadaan becak ini mulai tergusur dengan maraknya moda
transportasi yang lebih modern misalnya, taksi, Sepur Kluthuk Jaladara, dan
Bis Tingkat Wrekudara. Bahkan keberadaan becak yang sering mengantar
wisatawan asing dengan mangkal di depan hotel-hotel ternama di Surakarta sudah
tergusur dengan keberadaan taksi yang mulai mendominasi.
0 Comments