Gerakan Samin tersebut secara historis muncul pada tahun 1890, ketika seorang petani Jawa, Samin Surosentiko mulai menentang kolonial di Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang, suatu wilayah di Jawa Tengah bagian utara. Pada tahun 1905 gerakan Samin mulai menarik perhatian dari pihak kolonial Belanda. Pada waktu itu gerakan Samin ini menentang Politik Etis yang diterapkan di Jawa termasuk Blora. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, artinya gerakan yang tidak merupakan pemberontakan yang radikal. Gerakan Samin Surosentiko adalah gerakan protes petani yang anggota-anggotanya terdiri dari petani kaya dan petani miskin.
Ada ajaran Saminisme lainnya yang berhubungan dengan kejujuran, kerajinan, dan sebagainya. Menurut ajaran Saminisme orang itu harus rajin bekerja, jangan mencuri milik orang lain. Apabila ada seseorang minta sesuatu barang milik orang lain, maka orang itu wajib memberi. Ajaran Saminisme ini mengandung arti kemurahan hati, sabar dan rajin. Unsur-unsur dari ajaran Saminisme ini merupakan bagian dari gerakan Samin menentang kekuasaan kolonial Belanda. Suku Samin sering menjadi bahan cemoohan orang-orang di sekitarnya karena keluguannya dan kepolosannya. Suku Samin terkenal dengan kejujurannya. Mereka hidup di dalam area hutan milik negara dan terletak di sebelah Selatan Desa Klopoduwur. Desa Klopoduwur yang tenang ini merupakan tempat pertumbuhan ajaran Samin. Raden Kohar atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Samin Surosentiko yang menyebarkan ajaran ini. Lelaki yang lahir pada tahun 1859 ini sejatinya berasal dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora.
Pada tahun 1890 pergerakan Samin berkembang didua desa hutan kawasan Randublatung dan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai Utara Jawa sampai keseputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Ajaran yang pada permulaannya hanya dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini, ternyata berkembang dengan cepat. Dalam waktu kurang lebih 17 tahun pengikut ajaran Samin telah mencapai sekitar 5000 orang. Mulai tahun 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah (Belanda).
Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin demi sebuah eksistensi di tengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Tetapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin. Samin berasal dari kata sami-sami amin yang artinya sama rata, sama sejahtera dan sama mufakat. Sebuah nama yang berdasarkan wong cilik (orang kecil) serta berjuluk ”Samin Sepuh”. Mereka hidup dengan alam dan hidup dengan kesederhanaan. Seperti halnya manusia atau masyarakat yang lain, masyarakat Samin juga membutuhkan tempat tinggal atau rumah yang paling sesuai untuk dirinya, keluarganya dan keturunannya. Dengan kemampuan dan pemikiran mereka yang selama ini menjadi simbol perlawanan mereka, yaitu kembali ke alam mereka mencoba memenuhi segala tuntutan kehidupannya. Permukiman Suku Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah untuk memudahkan komunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu jati dan bambu. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk Bekuk Lulang sebagai ciri khasnya. Dari bangunan rumah yang ada ini sebagai daya tarik wisatawan untuk datang dan sekaligus mengenal budaya Suku Samin.
Wong Samin, begitu orang menyebut mereka. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Soersentiko yang mengajarkan sedulur sikep, dimana dia mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain diluar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok diluarnya. Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun 70an mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai pantura timur Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal dikawasan pegunungan Kendeng diperbatasan dua propinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata Samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama dikalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko diantaranya:
- Agama adalah senjata atau pegangan hidup, paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
- Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain.
- Bersikap sabar dan jangan sombong.
- Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
- Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Riwayat Hidup Samin Soerosentiko
Seorang priyayi rendahan bernama Raden Surowijoyo di desa Ploso Khediren pada tahun 1859 menerima kehadiran putra keempatnya. Bayi itu diberi nama Kohar. Didepan namanya dia berhak memakai gelar Raden. Dalam tradisi lisan di desa Tapelan, Samin adalah putra dari Raden Surowijoyo dari Bojonegoro. Priyayi yang menjadi bromocorah dan bekerja untuk kepentingan orang-orang desa yang miskin. Raden Surowijoyo dikenal sebagai Samin Sepuh. Raden Kohar sendiri memiliki pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro; juga dengan Pangeran Kusumaningayu (Dalam tradisi Jawa Timur disebut Pangeran Kusumawinahyu). Pangeran Kusumaningayu adalah nama lain dari Raden Mas Adipati Brotoningrat yang sejak 1802-1826 memerintah Kabupaten Sumoroto (sebuah daerah di Tulungagung).
Ketika dewasa, Raden Kohar menjadi petani dengan sawahnya yang tiga bau dan ladang satu bau. Enam ekor sapi juga dimilikinya. Raden Kohar menganti namanya menjadi Samin. Sebuah nama yang merakyat, kendati dirinya adalah turunan priyayi rendahan. Samin mulai menyiarkan ajarannya sejak tahun 1890 di desa Klopodhuwur. Banyak orang dari desa itu, juga desa (sebelahnya) Tapelan kemudian berguru padanya. Awalnya pemerintah kolonial tidak peduli pada ajaran ini. Waktu itu ajaran ini tidak mengganggu keamanan dimata pemerintah. Samin hanya dianggap ajaran kebatinan. Lebih ekstrim lagi hanya dianggap agama baru saja. Laporan Residen Rembang ada sekitar 772 orang Samin yang tersebar di 34 desa dalam lingkup Kabupaten Blora di bulan Januari 1903. Ajaran ini kian lama kian berkembang. Orang-orang Samin mulai terlihat mengubah tatacara hidupnya dalam kehidupan sehari-hari di tahun 1905 oleh Pemerintah. Mereka tidak mau lagi menyetor pajak kepada pemerintah. Mereka juga tidak mau lagi mengandangkan sapi-sapinya bersama sapi-sapi milik orang bukan Samin. Mereka telah menganut agama Adam. Hal ini tidak lain dirunut dari sikap Samin yang memang enggan untuk membayar pajak. Awal tahun 1907 jumlah pengikut Samin semakin meningkat. Angka pengikut Samin yang mencapai 5000 orang itu mengejutkan pemerintah kolonial. Ketakutan pemerintah muncul setelah ada kabar: Maret 1907 akan ada pemberontakan orang Samin. Orang-orang Samin yang hadir dalam selamatan di desa Kedhung Tuban lalu ditangkapi dengan alasan sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan.
Oleh pengikutnya, 8 November 1907, Samin diangkat menjadi Ratu Adil dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam. Raden Pragola, Asisten Wedana di Randublatung di Blora bertindak atas nama pemerintah dengan menangkap sang Ratu Adil pada hari ke 40 setelah pengangkatan itu. Sang Ratu Adil-pun dikurung di bekas tobong pembaran batu gamping, sebelum akhirnya dibawa ke Rembang untuk diintrogasi. Bersama pengikutnya Sang Ratu dengan pengikutnya dibuang keluar Jawa. Pemerintah merasa bahaya geger Samin harus diatasi dengan pembuangan Samin dan pengikutnya keluar Jawa. Sepeninggal Samin, gerakannya masih terus berkembang. Wongsorejo, seorang pengkut Samin ditahun 1908 giat mengembangkan ajaran Samin di distrik Djiwan, Madiun. Orang-orang desa disana dianjurkan untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Nasib Wongsorejo-pun dibuat sama dengan panutannya oleh pemerintah. Bersama dua kawannya, Wongsojuga dibuang. Surohidin, menantu Sang Ratu dan Engkrak, murid sang Ratu ditahun 1911 menyebarkan ajaran Samin ke Grobogan (Purwodadi). Karsiyah, pengikut Sang Ratu lainnya mengembangkannya di Kajen, Pati. Penyebaran ajaran Samin di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban pada tahun 1912 mengalami kegagalan.
Pemerintah kolonial ditahun 1914 menaikan pajak. Hal ini semakin memperhebat gerakan Samin. Di Grobogan, orang-orang Samin tidak lagi menghormati para pamong desa dan pemerintah kolonial. Orang-orang Samin di distrik Balerejo, Madiun membohongi pegawai pemerintah untuk menghindari pajak. Di Kajen, misi Karsiyah sukses dengan himbauannya pada orang-orang desa untuk tidak membayarmpajak kepada pemerintah. Di Larangan, Pati orang-orang Samin menyerang lurah dan polisi. Di Tepalan, Bojonegoro orang-orang Samin yang tidak mau membayar pajak juga mengancam Asisten Wedana. Mereka lalu ditangkap dan penjarakan.
Perlawanan ditahun 1917 semakin meningkatkan pergerakannya terhadap pemerintah. Perlawanannya masih dalam bentuk perlawanan pasif. Tidak dengan kekerasan. Pemerintah yang semakin gerah kemudian menindas perlawanan pasif ini. Gerakan Samin sejak 1930 perlahan memudar dengan tidak adanya pemimpin tangguh bagi gerakan. Samin Surontiko alias Sang Ratu meninggal dalam pembuangannya tahun 1914, di Padang. “Wajah pucat, tangan diikat, rambut digundul, celana kolor hitam, dan lemah lunglai tubuhnya.” Begitulah ungkap seorang warga Samin dari desa Tapelan melihat pemimpinnya diseret oleh pemerintah kolonial menuju tempat pembuangannya.
Semasa menjadi dokter pada sebuah rumah sakit Zending di Blora, dr Soetomo sejak tahun 1913-1918, sang pendiri Budi Utomo ini pernah melakukan penelitian mengenai masalah gerakan sosial, termasuk gerakan Samin. Samin yang menjadi bahan ejekan para priyayi yang merasa prestise mereka diacuhkan oleh orang-orang Samin, tapi tidak oleh priyayi bernama Soetomo ini. Soetomo malah menjadikannya sebagai bahan agitasinya dalam pergerakan nasional. Setidaknya Soetomo bahkan menyanjung semangat demokratis mereka (orang-orang Samin).
Bicara tentang Ratu Adil, ketika ditanya apakah dirinya Raja atau Ratu? Samin menjawab “tidak.” Ketika ditanya: “apakah Samin tahu akan datangnya Ratu Adil atau Herucakra?” Samin juga menjawab tidak tahu. Samin Surontiko mungkin ingin menunjukan sikap bodoh khas Samin-nya. Setidaknya, dengan sikap bodoh-nya orang-orang Samin telah menunjukan pada kita: bodoh ala Samin juga perlawanan yang cukup menggeramkan penguasa lokal dan pemerintah kolonial Belanda ketika.
Gerakan Samin
Geger Samin atau gerakan Samin dimulai pada 7 Februari tahun 1889 ketika Samin Surosentiko pertama kali berbicara di depan pengikutnya di oro-oro dusun Bapangan, kabupaten Blora. Pada malam hari, dengan diterangi obor, Samin Surosentiko mengumpulkan pengikutnya di sekitar Bapangan dan mengkampanyekan gerakan berdirinya kerajaan Jawa. Pidatonya sebagai berikut:
“ Cur temah eling bilih siro kabeh horak sanes turun Pandowo, lan huwis nyipati kabrakalan krandah Mojopahit sakeng bakrage wadyo musuh. Mulo sakuwit biyen kolo niro Puntodewa titip tanah Jawa marang hing Sunan Kalijogo. Hiku maklumat tuwilo kajantoko”.
Pidato tersebut diucapkan dalam bahasa Bloro campur Bojonegoro. Ki Samin mengingatkan tiga perkara yaitu:
Pertama : Orang Samin itu keturunan Satria Pandawa, Prabu Puntodewa, saudara tua
yang bersedia menolong tanpa pamrih.
Kedua : Di jaman Majopahit keturunan tersebut pernah di rusak orang Demak yang
mabuk kemenangan.
Ketiga : Keturunan Pandawa di Majopahit sudah mengerti siapa yang benar dan
siapa yang salah.
Setahun setelah pidatonya di Bapangan, pada tahun 1889, Samin Surosentiko mendirikan perguruan Adam atau Paguron Adam di desa Klopoduwur, kabupaten Blora. Orang-orang desa di sekitarnya banyak yang datang berguru kepadanya. Pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda belum tertarik pada ajaran Samin, sebab ajaran itu masih dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang tidak mengganggu keamanan.
Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati pada zaman penjajahan di Indonesia. Sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu. Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akal bulus itu ditentang oleh masyarakat pinggir hutan di bawah komando. Samin Surosentiko yang diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal tanpa persetujuan dirinya. Oleh para pengikutnya Samin Surosentiko dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya. Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim.
Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda. Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, “Kanggo!” (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan “Wong ora bisa basa” atau dianggap tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan. Ketika pergerakan itu memanas dan mulai menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak. Namun tindakan pengasingan dan tuduhan gerakan subversif gagal menghentikan aktivitas para saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan Blora yang merupakan jantung hutan jati di P. Jawa.
0 Comments