Pelantikan B.J. Habibie sebagai Presiden Ketiga RI |
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21
Mei 1998. Sebagai salah satu penguasa terlama di dunia, dia cukup yakin ketika
ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa jabatan yang ketujuh pada tanggal 11
Maret 1998, segala sesuatu akan berada di bawah kontrolnya.[1]
Tetapi dua bulan sesudah Soeharto mengambil sumpah, Rezim Orde Baru runtuh.
Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998, presiden
yang sudah berumur 75 tahun ini menyaksikan legitimasinya berkurang dengan
cepat dan ia ditinggalkan seorang diri.
Penolakan ini melemahkan posisi
Soeharto sebagai presiden karena dukungan untuk membentuk Komite Reformasi
gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan presiden untuk mundur.
Perasaan ditinggalkan, terpukul telah membuat Soeharto tidak punya pilihan lain
kecuali memutuskan untuk berhenti.
A.
Proses Pengalihan Kepala Pemerintahan
dari Soeharto ke B.J. Habibie
Berawal
dari dampak krisis ekonomi di tahun 1997 yang melanda Kawasan Asia dan
berdampak sangat luas bagi perekonomian di Indonesia. Nilai tukar rupiah yang
merosot tajam pada bulan Juli 1997, membuat rupiah semakin terpuruk. Sebagai
dampaknya hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, yang diikuti
PHK pekerja-pekerjanya, sehingga angka pengangguran menjadi meningkat.
Krisis
ini juga berimbas langsung pada sektor moneter, terutama melalui penutupan
beberapa bank yang mengalami kredit bermasalah dan krisis likuiditas, sehingga
perbankan nasional menjadi berantakan. Hal inilah yang memunculkan krisis
kepercayaan dari investor, serta pelarian modal ke luar negeri. Kenaikan angka
kemiskinan yang melonjak pesat, merupakan dampak krisis ekonomi di Indonesia,
daya beli masyarakat desa maupun kota semakin menurun, sehingga memicu rawan
pangan dan kekurangan gizi. Di sektor kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah
menyebabkan kenaikan biaya medis, baik harga obat-obatan, vaksin, fasilitas
kesehatan yang berakibat keadaan masyarakat semakin terjepit.
Didorong
oleh kondisi yang makin parah, pada bulan Oktober 1997 pemerintah meminta
bantuan IMF (International Monetary Fund) untuk memperkuat sektor
finansial, pengetatan kebijakan viskal dan penyesuaian struktural perbankan.
Akan tetapi, pengaruh bantuan IMF sangatlah kecil dalam membantu krisis di
Indonesia. Beberapa kebijakan seperti kebijakan fiskal dan kebijakan likuidasi.
Dimana kebijakan fiskal bertujuan untuk mempertahankan nilai tukar sedangkan
kebijakan likuidasi bertujuan untuk membantu bank-bank yang bemasalah. Kebijakan
ini menerapkan standar kecukupan modal dengan mengusahakan rekapitulasi
perbankan. Namun pada kenyataannya kebijakan-kebijakan ini dilakukan tanpa
hasil yang berarti, malah IMF-lah yang disalahkan karena justru membuat
pekonomian Indonesia lebih parah selama krisis.
Puncak
dari tuntutan mahasiswa agar Presiden Soeharto turun dari jabatan terjadi pada
tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti yang dikenal dengan Insiden
Trisakti.[2]
Berawal dari aksi keprihatinan atas musibah bangsa dan mahasiswa berusaha secara
damai keluar kampus menuju Gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasinya tetapi
niat itu ditolak aparat keamanan dan memaksa mereka kembali ke kampus.
Tiba-tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat melepaskan tembakan.
Akibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru tajam aparat
keamanan. Keesokan harinya, 13 Mei 1998 mahasiswa di kampus-kampus
menggelar aksi keprihatinan. Pada hari yang sama, siang harinya terjadi
kerusuhan massal berupa aksi pengerusakan dan pembakaran fasilitas umum dengan
disertai aksi penjarahan, perampokan dan pelecehan seksual terhadap wanita
etnis tertentu di Jakarta dan sekitarnya. Aksi kerusuhan berlangsung sampai
tanggal 15 Mei 1998, yang memakan korban meninggal samapi 1218 orang, itupun
belum secara keseluruhan.
Pada
tanggal 18 Mei 1998 sampai 22 Mei 1998 ribuan mahasiswa menduduki Gedung
DPR/MPR dengan tuntutan mengadakan Sidang Istimewa dengan agenda mengganti
Soeharto.[3]
Upaya Presiden Soeharto untuk meredam tuntutan mahasiswa dan masyarakat adalah
dengan membentuk Komite Reformasi. Dimana Komite ini bertugas melaksanakan dan
menyerap aspirasi masyarakat untuk melaksanakan Reformasi. Akan tetapi terjadi
penolakan 14 Menteri yang tidak bersedia untuk duduk dalam susunan jabatan
Komite Reformasi hasil Reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dengan penolakan itu,
membuat posisi presiden terpojok secara politik disamping sebelumnya ada
desakan Ketua DPR Harmoko agar Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden.
Situasi ini membuat Soeharto memutuskan untuk berhenti karena desakan
masyarakat yang menuntut beliau mundur sangatlah besar dan secara politik
dukungan sudah tidak ada.
Naiknya
B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang
perdebatan hukum dan kontroversial,[4]
karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada
Habibie. Dikalangan mahasiswa sikap atas pelantikan Habibie sebagai presiden
terbagi atas tiga kelompok, yaitu: pertama, menolak Habibie karena
merupakan produk Orde Baru; kedua, bersikap netral karena pada saat itu
tidak ada pemimpin negara yang diterima semua kalangan sementara jabatan
presiden tidak boleh kosong; ketiga, mahasiswa berpendapat bahwa
pengalihan kekuasaan ke Habibie adalah sah dan konstitusional.
Akhirnya
gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa mampu menumbangkan kekuasaan Orde
Baru dan Era Reformasi mulai berjalan di Indonesia, di bawah Pemerintahan B.J.
Habibie. Lima isu-isu besar yang dihadapi Habibie :
1. Masa depan reformasi
2. Masa depan ABRI
3. Masa depan daerah-daerah
yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.
4. Masa depan Soeharto
keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya
5. Masa depan perekonomian
dan kesejahteraan rakyat.
Habibie memulai jabatannya dengan kepercayaan rendah dari
aktivis mahasiswa, militer, sayap politik utama, investor luar negeri dan
perusahaan internasional.
B.
Kebijakan-Kebijakan Pada Masa
Pemerintahan B.J. Habibie
Setelah Soeharto menyatakan berhenti
dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998,
maka pada pagi itu juga, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik dihadapan
pimpinan Mahkamah Agung menjadi Presiden
Republik Indonesia ketiga di Istana Negara. Dengan berhentinya Soeharto sebagai
Presiden Republik Indonesia, maka sejak saat itu Kabinet Pembangunan VII
dinyatakan demisioner (tidak aktif).
Selanjutnya tanggal 22 Mei 1998 pukul
10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu
dengan mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi
Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M
Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di
atas, Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada
Kabinet Pembangunan VII. Kabinet Reformasi Pembangunan ini terdiri dari 36
Menteri yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20
Menteri Negara yang memimpin Departemen, 12 Menteri Negara yang bertugas
menangani bidang tertentu. Sebanyak 20 Menteri diantaranya adalah muka lama
dari Kabinet Pembangunan VII, dan hanya 16 Menteri baru, yaitu Syarwan Hamid,
Yunus Yosfiah, Bambang Subianto, Soleh Solahuddin, Muslimin Nasution, Marzuki
Usman, Adi Sasono, Fahmi Idris, Malik Fajar, Boediono, Zuhal, A.M. Syaefuddin,
Ida Bagus Oka, Hamzah Haz, Hasan Basri Durin, dan Panangian Siregar.
Kabinet ini mencerminkan suatu sinergi
dari semua unsur-unsur kekuatan bangsa yang terdiri dari berbagai unsur
kekuatan sosial politik dalam masyarakat. Hal yang berbeda dari sebelumnya,
jabatan Gubernur Bank Indonesia tidak lagi dimasukkan di dalam susunan Kabinet.
Karena Bank Indonesia, kata Presiden harus mempunyai kedudukan yang khusus
dalam perekonomian, bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak manapun
berdasarkan Undang-Undang.
Pada tanggal 23 Mei 1998 pagi, Presiden
Habibie melantik menteri-menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Presiden
Habibie mengatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan disusun untuk
melaksanakan tugas pokok reformasi total terhadap kehidupan ekonomi, politik
dan hukum. Kabinet dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan mengambil
kebijakan dan langkah-langkah pro aktif untuk mengembalikan roda pembangunan
yang dalam beberapa bidang telah mengalami hambatan yang merugikan rakyat.
a. Pada bidang
politik
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan
yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah
terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil
yaitu: dengan dibebaskannya para tahanan politik pada masa Orde Baru,
peningkatan kebebasan pers, pembentukan parpol dan percepatan Pemilu dari tahun
2003 ke tahun 1999, penyelesaian masalah Timor-Timur, pengusutan kekayaan
Soeharto dan kroni-kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban
Trisakti.
1. Pembebasan Tahanan Politik
Secara umum tindakan pembebasan tahanan
politik meningkatkan legitimasi Habibie baik di dalam maupun di luar negeri.
Hal ini terlihat dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang
merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Diantara yang
dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan PKI, yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti
diberikan kepada Mohammad Sanusi dan orang-orang lain yang ditahan setelah
Insiden Tanjung Priok. Selain tokoh itu tokoh aktivis petisi
50 (kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan jendral yang menuduh
Soeharto melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI).
Dr Sri Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr Mochatar Pakpahan ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H Abdurrahman Wahid merupakan segelintir dari tokoh-tokoh yang dibebaskan Habibie. Selain itu Habibie mencabut Undang-Undang Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang Orde Baru.
2.
Kebebasan Pers
Dalam hal ini, pemerintah memberikan
kebebasan bagi pers di dalam pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan
Habibie ini, banyak sekali bermunculan media massa. Demikian pula kebebasan
pers ini dilengkapi pula oleh kebebasan berasosiasi organisasi pers sehingga
organisasi alternatif seperti AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) dapat
melakukan kegiatannya. Sejauh ini tidak ada pembredelan-pembredelan terhadap
media tidak seperti pada masa Orde Baru. Pers Indonesia dalam era
pasca-Soeharto memang memperoleh kebebasan yang amat lebar, pemberitaan yang
menyangkut sisi positif dan negatif kebijakan pemerintah sudah tidak lagi hal
yang dianggap tabu, yang seringkali sulit ditemukan batasannya. Bahkan seorang
pengamat Indonesia dari Ohio State University, William Liddle mengaku sempat shock
menyaksikan isi berita televisi baik swasta maupun pemerintah dan membaca isi
koran di Jakarta, yang kesemuanya seolah-olah menampilkan kebebasan dalam
penyampaian berita, dimana hal seperti ini tidak pernah dijumpai sebelumnya
pada saat kekuasaan Orde Baru. Cara Habibie memberikan kebebasan pada Pers
adalah dengan mencabut SIUPP.
3.
Pembentukan
Parpol dan Percepatan Pemilu dari Tahun 2003 ke Tahun 1999
Presiden RI
ketiga ini melakukan perubahan dibidang politik lainnya diantaranya
mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999
tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.
Itulah sebabnya
setahun setelah reformasi Pemilihan Umum dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu
1999, Partai Politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh
Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi
syarat mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol saja. Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999,
diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai. Dalam pemilihan ini, yang hasilnya
disahkan pada tanggal 3 Agustus 1999, 10 Partai Politik terbesar pemenang
Pemilu di DPR, adalah:
1.
Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
(PDI-P) pimpinan Megawati Soekarno Putri meraih 153 kursi
2.
Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung
meraih 120 kursi
3.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
pimpinan Hamzah Haz meraih 58 Kursi
4.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan H.
Matori Abdul Djalil meraih 51 kursi
5.
Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amein
Rais meraih 34 Kursi
6.
Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril
Ihza Mahendra meraih 13 kursi
7.
Partai Keadilan (PK) pimpinan Nurmahmudi
Ismail meraih 7 kursi
8.
Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) pimpinan
Manase Malo meraih 5 Kursi
9.
Partai Nahdlatur Ummat pimpinan Sjukron Ma’mun
meraih 5 kursi
10.
Partai Keadilan dan Persatuan (PKP)
pimpinan Jendral (Purn) Edi Sudradjat meraih 4 kursi
4. Penyelesaian Masalah Timor Timur
Sejak terjadinya insident Santa Cruz,
dunia Internasional memberikan tekanan berat kepada Indonesia dalam masalah hak
asasi manusia di Tim-Tim. Bagi Habibie Timor-Timur adalah kerikil dalam sepatu
yang merepotkan pemerintahannya, sehingga Habibie mengambil sikap pro aktif
dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaian Timor-Timur yaitu di satu pihak
memberikan status khusus dengan otonomi luas dan dilain pihak memisahkan diri
dari RI. Otonomi luas berarti diberikan kewenangan atas berbagai bidang seperti
: politik ekonomi budaya dan lain-lain kecuali dalam hubungan luar negeri,
pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiskal. Sedangkan memisahkan diri
berarti secara demokratis dan konstitusional serta secara terhormat dan damai
lepas dari NKRI. Sebulan menjabat
sebagai Presiden habibie telah membebaskan tahanan politik Timor-Timur, seperti
Xanana Gusmao dan Ramos Horta.
Sementara itu di Dili pada tanggal 21
April 1999, kelompok pro kemerdekaan dan pro intergrasi menandatangani
kesepakatan damai yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto, Wakil Ketua Komnas
HAM Djoko Soegianto dan Uskup Baucau
Mgr. Basilio do Nascimento.[5]
Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama
disaksikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakan melaksanakan
penentuan pendapat di Timor-Timur untuk mengetahui sikap rakyat Timor-Timur
dalam memilih kedua opsi di atas. Tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan
pendapat di Timor-Timur berlangsung aman.
5.
Pengusutan
Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya
Mengenai masalah KKN, terutama yang
melibatkan Mantan Presiden Soeharto pemerintah dinilai tidak serius
menanganinya dimana proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat.
Bahkan, pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan Tap MPR No. XI / MPR /
1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, terutama mengenai pengusutan kekayaan Mantan Presiden Soeharto,
keluarga dan kroni-kroninya. Padahal mengenai hal ini, Presiden Habibie -
dengan Instruksi Presiden No. 30 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 – telah
mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera mengambil tindakan hukum
memeriksa Mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik KKN.
Namun hasilnya tidak memuaskan karena pada tanggal 11 Oktober 1999, pejabat
Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa penyidikan
terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana yayasan dihentikan.
Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan,
kecuali menemukan bukti-bukti baru. Sedangkan dengan kasus lainnya tidak ada
kejelasan.
Bersumber dari masalah di atas, yaitu pemerintah dinilai gagal dalam melaksanakan agenda Reformasi untuk memeriksa harta Soeharto dan mengadilinya. Hal ini berdampak pada aksi demontrasi saat Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998, dan aksi ini mengakibatkan bentrokan antara mahasiswa dengan aparat. Parahnya pada saat penutupan Sidang Istimewa MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rangkaian penembakan membabi-buta berlangsung sejak pukul 15.45 WIB sampai tengah malam. Darah berceceran di kawasan Semanggi, yang jaraknya hanya satu kilometer dari tempat wakil rakyat bersidang. Sampai sabtu dini hari, tercatat lima mahasiswa tewas dan 253 mahasiswa luka-luka. Karena banyaknya korban akibat bentrokan di kawasan Semanggi maka bentrokan ini diberi nama ”Semanggi Berdarah” atau ”Tragedi Semanggi”.
6.
Pemberian Gelar
Pahlawan Reformasi bagi Korban Trisakti
Pemberian gelar Pahlawan Reformasi pada
para mahasiswa korban Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal
12 Mei 1998 merupakan hal positif yang dianugrahkan oleh pemerintahan Habibie,
dimana penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan
kepada perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi.
b. Pada Bidang
Ekonomi
Di dalam pemulihan ekonomi, secara
signifikan pemerintah berhasil menekan laju inflasi dan gejolak moneter
dibanding saat awal terjadinya krisis. Namun langkah dalam kebijakan ekonomi
belum sepenuhnya menggembirakan karena dianggap tidak mjempunyai kebijakan yang
kongkrit dan sistematis seperti sektor riil belum pulih. Di sisi lain, banyaknya
kasus penyelewengan dana negara dan bantuan luar negeri membuat Indonesia
kehilangan momentum pemulihan ekonomi. Pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah
membekukan operasional Bank Umum Nasional, Bank Modern, dan Bank Dagang
Nasional Indonesia. Kemudian di awal tahun selanjutnya kembali pemerintah
melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank diambil-alih pemerintah dan 9 bank mengikuti
program rekapitulasi.
Untuk masalah distribusi sembako
utamanya minyak goreng dan beras, dianggap kebijakan yang gagal. Hal ini nampak
dari tetap meningkatnya harga beras walaupun telah dilakukan operasi pasar,
ditemui juga penyelundupan beras keluar negeri dan penimbunan beras.
c. Pada Bidang Manajemen Internal
ABRI
Pada masa transisi di bawah Presiden
B.J. Habibie, banyak perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI,
terutama dalam tataran konsep dan organisatornya.
Pertimbangan mendasar yang
melatarbelakangi keputusan politik dan akademis reformasi internal TNI, antara
lain:
- Prediksi tantangan TNI ke depan di abad XXI
begitu besar, komplek dan multidimensional, atas dasar itu TNI harus segera
menyesuaikan diri.
- TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar
serta merespon aspirasi rakyat.
- TNI mengakui secara jujur, jernih dan
objektif, sebagai komponen bangsa yang
lainnya, bahwa di masa lalu ada kekurangan dan distorsi sebagai konsekuensi
logis dari format politik Orba
ABRI telah melakukan
kebijakan-kebijakan sebagai langkah perubahan politik internal, yang berlaku
tanggal 1 April 1999. Kebijakan tersebut antara lain: pemisahan POLRI dari
ABRI, Perubahan Stat Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, Likuidasi Staf
Karyawan, Pengurangan Fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II, pemutusan hubungan
organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan parpol
yang ada, kometmen dan netralitas ABRI dalam Pemilu dan perubahan Staf Sospol
menjadi komsos serta pembubaran Bakorstanas dan Bakorstanasda.
Perubahan di atas dipandang positif
oleh berbagai kalangan sebagai upaya reaktif ABRI terhadap tuntutan dan gugatan
dari masyarakat,[6]
khususnya tentang persoalan eksis peran Sospol ABRI yang diimplementasikan dari
doktrin Dwi Fungsi ABRI.
- Lepasnya Timor Timur dan Berakhirnya Masa Pemerintahan B.J. Habibie
Dengan
mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden pada tanggal 21 mei 1998,
maka Wakil Presiden B.J. Habibie
menggantikan kedudukannya sebagai presiden. Pelimpahan ini memunculkan
reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi
pemerintahan B.J. Habibie sangat lemah, karena keberadaan Habibie dianggap
sebagai suatu paket warisan pemerintahan Soeharto. Bahkan beberapa kolompok
menuntut pembentukan pemerintahan transisi. Hal lain yang melemahkan legitimasi Habibie dalam
memimpin pemerintahan ialah ia tidak dipilih secara luber dan jurdil sebagai
presiden dan merupakan satu paket pemilihan pola musyawarah mufakat dengan
Soeharto.
Selain
itu, beberapa tokoh memberi komentar pemerintahan Habibie sebagai ”pemerintahan
transisi” (Nurcholis Majid). ”Belum lepas dari bayang-bayang Soeharto” (Amien
Rais), ”Melakukan reformasi hanya pada kulitnya saja” dan ”perpanjangan rezim
mantan Presiden Soeharto” (Megawati). Komentar-komentar tersebut makin
melemahkan legitimasi Habibie sebagai presiden.
Meskipun
terdapat berbagai kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh pemerintahan
Habibie. Dimana sejak Kabinet Reformasi Pembangunan dibentuk, seperti
penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, penyelenggaraan pemilu dan reformasi di
bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi.
Di
tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi,
pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan
kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur. Pemerintah dianggap tidak
berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR/MPR sebelum menawarkan opsi kedua
kepada masyarakat Timor-Timur. Dalam jajak pendapat terdapat dua opsi yang
ditawarkan di Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie, yaitu: otonomi luas
bagi Timor-Timur dan kemerdekaan bagi Timor-Timur. Akhirnya tanggal 30 Agustus
1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman dan
dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan yang berarti Timor-Timur lepas dari
wilayah NKRI. Hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999
yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih merdeka. Presiden
Habibie berkeyakinan bahwa rakyat Timor-Timur lebih memilih opsi pertama, namun
kenyataannya keyakinan itu salah, dimana sejarah mencatat bahwa sebagian besar
rakyat Timor-Timur memilih lepas dari NKRI. [7]
Lepasnya Timor-Timur dari NKRI
berdampak pada daerah lain yang juga ingin melepaskan diri dari NKRI seperti
tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM di Irian Jaya, selain itu Pemerintah RI harus
menanggung gelombang pengungsi Timor-Timur yang pro Indonesia di daerah
perbatasan yaitu di Atambua. Masalah Timor-Timur tidaklah sesederhana seperti
yang diperkirakan Habibie karena adanya bentrokan senjata antara kelompok pro
dan kontra kemerdekaan di mana kelompok kontra ini masuk ke dalam kelompok
militan yang melakukan teror pembunuhan dan pembakaran pada warga sipil. Tiga
pastor yang tewas adalah pastor Hilario, Fransisco, dan dewanto. Situasi yang
tidak aman di Tim-Tim memaksa ribuan penduduk mengungsi ke Timor Barat, ketidak
mampuan Indonesia mencegah teror, menciptakan keamanan mendorong Indonesia
harus menerima pasukan internasional.
Masalah itu tidak berhenti dengan
lepasnya Timor-Timur, setelah itu muncul tuntutan dari dunia Internasional
mengenai masalah pelanggaran HAM yang meminta pertanggungjawaban militer
Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat. Hal ini
mencoreng Indonesia di Dunia Internasional.
Pada
tanggal 1-21 Oktober 1999, MPR mengadakan Sidang Umum. Dalam suasana Sidang
Umum MPR yang digelar dibawah pimpinan Ketua MPR Amien Rais, tanggal 14 Oktober
1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan sidang
dan terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden sebagai Mandataris
MPR lewat Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi
Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa. Pada umumnya,
masalah-masalah yang dipersoalkan oleh Fraksi-fraksi tersebut adalah masalah
Timor-Timur, KKN termasukan pengusutan kekayaan Soeharto, dan masalah HAM.
Sementara itu, di luar Gedung DPR/MPR yang sedang bersidang, mahasiswa dan
rakyat yang anti Habibie bentrok dengan aparat keamanan. Mereka menolak
pertanggungjawaban Habibie, karena Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Rezim Orba.
Kemudian
pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua
MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama
Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan
presiden. Habibie juga iklas terhadap penolakan pertanggungjawabannya oleh MPR.
Menyusul penolakan MPR terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie dan
pengunduran Habibie dalam bursa calon presiden, memunculkan dua calon kuat
sebagai presiden, yaitu Megawati dan Abdurrahman Wahid semakin solid, setelah
calon PresidenYusril Ihza Mahendra dari Fraksi Partai Bulan Bintang
mengundurkan diri melalui voting, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia keempat dan dilantik dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 untuk masa
bakti 1999-2004. Tanggal 21 Oktober 1999 Megawati terpilih menjadi Wakil
Presiden RI dengan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 mendampingi Presiden
Abdurrahman Wahid. Terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004 menjadi akhir
pemerintahan Presiden Habibie dengan TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang
Pertanggungjawaban Presiden RI B.J. Habibie.
C. Kesimpulan
Tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka
Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden
RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Usai Presiden
Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya
menjadi Presiden RI Ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan
oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas
peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung
DPR/MPR.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan
Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan
kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak
kekuasaan kepada Habibie. Meskipun demikian pada tanggal 22 Mei 1998 pukul
10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu
dengan mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi
Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M
Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas,
Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet
Pembangunan VII. Habibie memimpin Indonesia dengan sedikit kepercayaan, ia
memimpin Indonesia dalam keadaan jatuh.
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan
yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah
terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan, antara lain: kebijakan di bidang
politik, kebijakan pada bidang ekonomi, dan kebijakan pada bidang Manajemen
Internal ABRI.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan
Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie melakukan tindakan yang
bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur.
Pada tanggal 14 Oktober 1999 Presiden
Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR
namun terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden karena
Pemerintahan Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim
Orba. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat
Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J.
Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya
mengundurkan diri dari pencalonan presiden.
[1] Sarbana,
Baban, Blogger Ngomong Politik:Catatan
Hati Mantan Aktivis 1998 (Jakarta:PT Elex Media Komptindo, 2010),Hlm.46.
[2] Ikrar
Nusa Bhakti.,Miiter dan Politik Kekerasan
Orde Baru:Soeharto Di Belakang Peristiwa 27 Juli?
(Bandung:Mizan,2001),Hlm.178.
[3]
Yulianto,Arif.,Hubungan Sipil Militer di
Indonesia pasca Orba (Jakarta:PT Raja Grafindo, 2002),Hlm.342.
[4] Sarbana,
Baban.,op.cit.,Hlm.48
[5] Makarim,
Zacky Anwar, dkk,Hari-Hari Terakhir
Timor-Timur:Sebuah Kesaksian (Jakarta:PT.Sportif Media
Informasindo,2003),Hlm.152.
[6]
Yulianto,Arif.,op.cit.,Hlm.348
[7] Chris
Manning&Peter Van Diermen, Indonesia
Di Tengah Transisi:Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis(Yogyakarta:LKIS,2000),Hlm.147
Sumber:
·
Chris Manning&Peter Van Diermen.2000. Indonesia Di Tengah Transisi:Aspek-Aspek
Sosial Reformasi dan Krisis.Yogyakarta:LKIS
·
Ikrar Nusa Bhakti, dkk.2001.Militer Dan
Politik Kekerasan Orde Baru:Soeharto Di
Belakang Peristiwa 27 Juli?.Bandung:Mizan.
- Makarim,
Zacky Anwar, dkk.2003.Hari-Hari
Terakhir Timor-Timur:Sebuah Kesaksian (Jakarta:PT.Sportif Media
Informasindo.
·
Sarbana, Baban.2010. Blogger Ngomong Politik:Catatan Hati Mantan Aktivis 1998
(Jakarta:PT Elex Media Komptindo.
·
Yulianto,Arif.2002.Hubungan Sipil Militer di Indonesia pasca Orba.Jakarta:PT Raja Grafindo.
0 Comments