Pada masa kerajaan Majapahit juga di
berlakukan pemungutan pajak. Seperti yang terkandung dalam Serat
Negarakertagama dalam Pupuh VII ayat 1 yang berbunyi, Melambung kidung merdu
pujian sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh, bagai matahari menghembus
kabut, menghimpun negara di dalam kuasa, girang janma utama bagai bunga
tunjung, musnah durjana bagai kumuda, dari semua desa di wilayah negara pajak
mengalir bagai air. (terjemahan dalam bahasa
Indonesia). Serta juga terdapat dalam Pupuh VX ayat 3 yang berbunyi, Semenjak Nusantara menadah perintah Sri
Baginda, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti, terdorong keinginan
akan menambah kebahagiaan, pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti.
(terjemahan dalam bahasa Indonesia). Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa
semua wilayah yang di kuasai oleh kerajaan Majapahit di kenakan pajak. Raja
yang berkuasa di Majapahit memberlakukan pemungutan pajak atas tanah, bumi, dan
semua hal. telah di jelaskan pula dalam semua isi serat Negarakertagama. Serat
Negarakertagama dengan kerajaan Majapahit adalah suatu pemecahan suatu masalah
mengenai konsep-konsep kehidupan manusia di Jawa pada masa lampau.
Melacak konsep
perpajakan masa kuno sudah barang tentu berkaitan dengan masalah pertanahan.
Dalam hal ini sangat berpengaruh ketika hak hak raja mulai berkuasa atas
pertanahan. Sebagaimana dalam konsep hak raja atas tanah yang memuat tentang :
1.
Memberi nama pada hak penguasaan
yang bersangkutan, misalnya hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai.
2.
Menetapkan isinya, yaitu mengatur
apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya
serta jangka waktu penguasaannya.
3.
Mengatur hal-hal mengenai subyeknya,
siapa yang boleh jadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya.
4.
Mengatur hal-hal mengenai tanahnya
dan wilayahnya.
Karena di dalam
serat Negarakertagama tersebut mengatur segala kehidupan manusia dan juga
berhubungan dengan konsep perpajakan. Pada pupuh ke LXXXVIII
ayat 3. Undang-undang tersebut disusun dengan latar belakang
bahwa kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar
hidup dari hasil-hasil pertanian. Dalam kitab undang-undang yang disebut agama,
terdapat lima pasal diantara 271 pasalnya yang mengatur masalah tanah. Tanah
menurut undang-undang agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat
hanya mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki
tanah tersebut, hak milik atas tanah tetap ada pada raja.
Turun temurun artinya hak milik atas
tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat, artinya hak
milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya,
tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak
lian, dan tidak mudah hapus. Terpenuh, artinya hak milik atas tanah
memberikan wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak
berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.
Ketentuan mengenai hak milik atas
tanah disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus lagi
diatur dalam Pasal 20-27 UUPA. Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah
hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA.
Sejarah perpajakan pada periode ini
ditandai dengan diundangkannya beberapa Ordonansi Pajak yang cukup monumental.
Sekedar memberi contoh, misalnya seperti Ordonansi Pajak Penghasilan 1920
(Ordonansi 1920) dan Ordonansi Pajak Perusahaan 1925 (Ordonansi 1925).
Ordonansi yang disebut terakhir ini bahkan tetap berlaku hingga jaman
kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan berbagai perubahan. Perubahan
fundamental Ordonansi 1920 adalah mulai diterapkannya prinsip unifikasi, kepada
setiap wajib pajak diberlakukan ketentuan yang sama tanpa memerhatikan kebangsaannya.
Seperti diulas sebelumnya, ketentuan pajak sebelum 1920 membedakan perlakuan
pajak atas warga pribumi, warga Asia dan warga Eropa. Beberapa hal penting
lainnya yang mulai diterapkan dalam Ordonansi 1920 ini, antara lain:
Pajak penghasilan tidak hanya
diberlakukan bagi orang pribadi, tetapi juga diterapkan pada perkumpulan
orang-orang seperti firma. Badan usaha asing yang menjalankan usaha di wilayah
India Belanda juga menjadi subyek pajak penghasilan di bawah rejim Ordonansi
1920 ini. Kepada wajib pajak yang tinggal di India Belanda (resident) berlaku
konsep world wide income, dipajaki atas seluruh penghasilan yang diperoleh
dalam satu tahun pajak tanpa melihat dari mana sumber penghasilan tersebut.
Sementara wajib pajak non-resident hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber dari India Belanda. Hanya saja, dalam menentukan apakah seseorang
menjadi resident atau non-resident, Ordonansi 1920 belum secara tegas mengatur
soal time test. Sehingga penentuan seorang wajib pajak sebagai resident atau
non-resident sepenuhnya tergantung pada penilaian kantor pajak.
Dalam menentukan penghasilan kena
pajak, Ordonansi 1920 tetap menggunakan konsep penghasilan bersih. Penghasilan
sendiri didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan dalam bentuk kas atau setara
kas, termasuk di dalamnya nilai barang yang diproduksi dan digunakan untuk
kepentingan pribadi wajib pajak, yang diterima dari pekerjaan atau kegiatan
usaha, dalam bidang keilmuan atau bidang lainnya, yang dilakukan secara teratur
(periodik) maupun tidak teratur. Tarif pajak yang berlaku dalam Ordonansi 1920
adalah tarif progresif, mulai dari 1% untuk penghasilan kena pajak minimum
sebesar 120 Gulden sampai dengan 25% untuk penghasilan kena pajak di atas
180.000 Gulden. Sementara tarif pajak untuk badan usaha adalah tarif tetap
sebesar 6%.
0 Comments