Gambar: Gerakan Mahasiswa Tahun 1966
Sumber: sosio-politica.com
Lalu ada Peristiwa Trisakti 1998, yang menjadi catatan buram dari
peristiwa ini ialah kasus penembakan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi
menuntut Soeharto turun dari jabatan yang berkibat pada meninggalnya empat
mahasiswa Trisakti ditambah dengan puluhan korban luka-luka. Mereka yang tewas
adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat
vital seperti kepala, leher, dan dada.[2]
Terdapat pula Peristiwa Semanggi I dan II yang juga diawali demo dan diakhiri
dengan kerusuhan yang menimbulkan banyak sekali korban meninggal maupun
luka-luka. Ini adalah pemicu awal terjadinya perubahan besar di Indonesia tahun
1998. Seperti yang telah diperkirakan bahwa Tragedi Trisakti berbuntut panjang.
Dari tanggal 13-15 Mei 1998, terjadi serangkaian aksi kekerasan massa di
berbagai kota, termasuk di Jakarta dan Solo yang merupakan kota yang paling
parah dilanda kerusuhan. Bahkan, B.J. Habibie mengungkapkan bahwa kerugian
akibat kerusuhan Mei 1998 jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan Peristiwa
Malari di Jakarta ataupun kasus 27 Juli 1996.[3]
Bahkan, di kampus UNS juga sempat terjadi konflik antara ABRI
dengan mahasiswa pada 8 Mei 1998 yang disebut “Aksi Jumat Berdarah”.
Menurut Solopos, ketika mahasiswa hendak melakukan Sholat Jumat di bagian jalan
Ir. Sutami kemudian dihalau aparat dengan pentungan dan juga semprotan gas air
mata. Dan diyakini terdapat sedikitnya 7 orang yang diduga hilang serta 400
korban cedera. Selain yang telah disebutkan di atas, ABRI mempunyai citra buruk
lain, seperti pelanggaran hukum menyangkut uang palsu, penyelundupan BBM, kasus
narkoba, dan kasus peledakan bom di BEJ.
Setelah beberapa kejadian seperti yang telah disebutkan di atas,
terdapat pula aksi penculikan dan bahkan diakhiri dengan pembunuhan para
aktivis-aktivis maupun mahasiswa yang dinilai telah mengkritik pemerintah.
Peristiwa penculikan atau penghilangan secara paksa ini terjadi menjelang
pemilu tahun 1997 dan Sidang Umum MPR 1998. Menurut Komnas HAM, dipercaya
berlangsaung dalam tiga tahap, yaitu : menjelang pemili Mei 1997, bulan Maret
menjelang sidang MPR dan menjelang pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998.
Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) telah mencatat terdapat 23 orang lebih yang telah dihilangkan oleh
aparat negara. Komnas HAM-pun menilai bahwa tindakan tersebut telah menjadi
pelanggaran HAM berat, dan pihak yang dinilai paling bertanggung jawab adalah
Tim Mawar[4].
Salah tokoh yang dinilai ikut bertanggungjawab atas Tim Mawar tersebut adalah
Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto dan Danjen Kopassus Mayjen
TNI Muchdi PR yang akhirnya mendapatkan pengakhiran masa dinas TNI. Karena
menurut hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira telah menyatakan bahwa penculikan
tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat
itu.
Perjalanan konflik antara ABRI dengan mahasiswa tersebut baiknya dapat
diselesaikan secara damai untuk menghindari perpecahan dalam negara dan juga
kerugian secara finansial, karena ABRI dan mahasiswa ini adalah aspek penting
dalam sebuah demokrasi di Indonesia. Dan juga konflik ini ditakutkan nantinya
akan meluas juga di daerah-daerah lain.
Menurut Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto menawarkan dan bersedia
melakukan dialog tersebut. Dialog antara Mahasiswa dengan ABRI yang akan
berlangsung tanggal 4 April 1998. Tujuan utama dialog itu tentunya mencari
jalan keluar untuk mengatasi kebangkrutan yang sedang melanda Indonesia.
Mencuatnya masalah dialog ini terjadi karena[5]:
1. Ada perjuangan yang terus-menerus dari kalangan mahasiswa,
sarjana dan rakyat yang konsern dengan perlu adanya perubahan sosial, politik,
hukum, ekonomi dan lain-lainnya yaitu dari sistem pemerintahan yang bersifat
militeristis menjadi pemerintahan sivil yang demokratis.
2. Bahwa tatanan sosial politik yang bertumpu pada sistem militeris
paternalisme, walaupun diselubungi dengan marka demokrasi Pancasila, ternyata
menjadi dasar dan sumber kebobrokan sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan
dan lain aspek kehidupan dewasa ini, khususnya krisis moneter dan ekonomi yang
berkepanjangan dengan dampak yang luas dan dalam sekali.
3. Dampak negatif tatanan militeristik/paternalis yang
mengakibatkan adanya kolusi, korupsi, manipulasi nepotisme, represif, munafik,
sudah sampai pada suatu titik kulminasi yang merintangi/menghambat masyarakat
Indonesia memasuki kehidupan abad 21, abad demokrasi dan keterbukaan, abad
globalisasi (mendunianya sistem kapitalis). Tanpa demokrasi dan keterbukaan
maka rakyat Indonesia akan dibawak tetap menjadi budak penguasaan kapital
global tanpa bisa mereaksi apapun kecuali sesuai dengan kepentingan penguasa
yang militeristis dan paternalistik.
Untuk itu banyak juga dilakukan dialog antara ABRI dan mahasiswa.
Memang tidak mudah untuk mendamaikan kedua belah pihak ini, karena keduanya
mempunyai tujuan masing-masing. Mahasiswa menginginkan adanya reformasi politik
dan ekonomi, sedangkan pihak aparat tidak menginginkan adanya letupan-letupan
yang dapat mengganggu stabilisasi dan harmonisasi kehidupan masyarakat. Selain
itu, dialog ini juga sangatlah sulit terjadi jika mahasiswa menuntut hanya akan
melakukan dialog dengan Presiden bukan dengan ABRI yang tidak ada kaitannya.
Selain itu, menurut mahasiswa dengan diadakannya dialog tersebut hanyalah
sebbagai tipu muslihat untuk menghentikan gerak maju proses demokratisasi.
Tapi mengingat masih banyaknya bentrokan yang terjadi maka dialog
antara kedua puhak ini masih sangatlah penting. Pihak ABRI menyikapi baik
dengan rencana adanya dialog ini, mereka menginginkan cara penyampaian aspirasi
secara proporsional dan konstitusional. Salah satu keuntungan jika dialog
antara ABRI dan mahasiswa terjadi adalah dapat mencegah munculnya disintegrasi
elite politik bangsa Indonesia. Dan juga dapat menimbulkan kesadaran
instropektik dalam kedua belah pihak yang nantinya akan dapat ditru oleh semua
lapisan masyarakat. Jadi kedua belah pihak harus menahan egonya masing-masing
demi terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Seandainya saja dalam pelaksanaan reformasi pada Mei 1998 tidak
terjadi bentrok antara mahasiswa dengan ABRI, tetapi malah kedua belah pihak
tersebut bergandengan dalam melancarkan reformasi pemerintahan, maka tidak akan
terjadi peristiwa kelabu seperti yang telah disebutkan di atas. Kalaupun
terjadi, maka perjalanan reformasi akan sulit dan lama, karena ABRI dinilai
berada dalam posisi ragu-ragu dan menginginkan reformasi tanpa mengganti
Soeharto. Tapi tanpa turunnya Suharto, konsep apa pun untuk memperbaiki
Indonesia tidak akan jalan, karena Suharto lebih mementingkan dirinya sendiri,
keluarga dan kroni-kroninya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dialog antara mahasiswa
dengan ABRI untuk mencari jalan terbaik menyelamatkan Indonesia tidak akan
berjalan semestinya atau bahkan tidak akan terjadi apabila Soeharto tetap
menjadi Presiden, karena menurut para mahasiswa Soeharto-lah yana dianggap
bertanggungjawab sebagai pimpinan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
A. Pambudi. 2009. Sintong
& Prabowo : Dari “Kudeta L.B Moerdani” sampai “Kudeta Prabowo”, Yogyakarta
: MedPress.
Agus Suparno,
Basuki. 2012. Reformasi dan Jatuhnya Soeharto. Jakarta: Kompas.
Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia pasca Orba. Jakarta: PT Raja Grafindo.
B.J. Habibie. 2006.
Detik-detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta
: THC Mandiri.
Muhamad Hisyam.
2003. Krisis Masa Kini Dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koran :
Solopos, 9
April 1998, Komunikasi ABRI-Mahasiswa cegah disintegrasi.
Solopos, 9
April 1998, Dialog ABRI-Mahasiswa tetap relevan.
Solopos, 13
April 1998, Mardiyanto : Tak ada perintah culik aktivis
Solopos, 13
April 1998, Rasyid : Tidak mungkin ABRI dukung mahasiswa.
Solopos, 14 April
1998, ABRI sikapi baik aksi mahasiswa.
Solopos, 13 Mei
1998, Mahasiswa Solo dan Yogya lapor Kontras.
Internet
:
Grakdomkes-Nusa
Adiputra, Ajakan Dialog ABRI-Mahasiswa dalam
http://peace.home.xs4all.nl/pubind/mb/gna.html. Diakses pada 27 Juni pukul 23.11
WIB
Satya
Kumara, Peristiwa Terbunuhnya Rene Conrad dalam
http://satya-kumara.blogspot.com/2013/04/peristiwa-terbunuhnya-rene-conrad.html.
diakses pada 20 Juni 2013.
[1] Satya Kumara, Peristiwa Terbunuhnya Rene Conrad dalam http://satya-kumara.blogspot.com/2013/04/peristiwa-terbunuhnya-rene-conrad.html.
diakses pada 20 Juni 2013.
[2] A. Pambudi, Sintong & Prabowo : Dari “Kudeta L.B Moerdani”
sampai “Kudeta Prabowo”, (Yogyakarta:MedPress), 2009, hlm 97.
[3] B.J. Habibie, Detik-detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia
Menuju Demokrasi, (Jakarta:THC Mandiri), 2006, hlm 7.
[4] Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus
Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tim ini adalah dalang dalam
operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi.
[5] Grakdomkes-Nusa Adiputra, ajakan Dialog ABRI-Mahasiswa dalam http://peace.home.xs4all.nl/pubind/mb/gna.html.
Diakses pada 27 Juni pukul 23.11 WIB
0 Comments