PEMILIHAN UMUM (PEMILU) 1955

source: nobodycorpfound.wordpress.com
A.   Kondisi Sebelum Pemilu Berlangsung

Pemilihan umum yang diadakan pada September dan Desember 1955 sangat menarik sebagai suatu experimen demokrasi. Kabinet saat itu, koalisi PNI-Masjumi-Sosialis yang diketuai oleh Wilopo dari PNI, sebenarnya sudah lumpuh karena berbagai kericuhan di parlemen dan di luar parlemen berlanjut selama berbulan-bulan setelah peristiwa 17 oktober. Demikianlah maka pada November 1952 kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru, dengan dukungan berbagai kalangan yang vokal secara politis. Dalam bentuk yang sudah diubah disana-sini rancangan itu menjadi undang-undang. Undang-undang baru itu menetapkan pemilihan umum secara langsung. Selain itu akan diadakan dua kali pemilu yakni  untuk memilih anggota parlemen dan majelis konstituante. Gagasan awal Wilopo adalah bahwa suatu badan pekerja Parlemen akan dibentuk oleh suatu majelis konstituante hasil pemilihan umum. Akan tetapi karena berbagai alasan politis dan konstitusional yang rumit, gagasan awal tersebut ditinggalkan demi terlaksananya pemilihan umum untuk dua badan yang berbeda, yaitu Parlemen dan Konstituante.

Sistem pemilihan umum yang ditetapkan dengan undang-undang 1953 itu banyak dikritik sebagai perfeksionis dalam hal demokrasi, terlalu rumit dan karena itu lamban dan mahal. Kritik-kritik itu banyak benarnya. Akan tetapi dilihat dari beberapa segi, khususnya ketentuan mengenai badan-badan pemilihan umum dan pemungutan suara undang-undang ini adalah hasil kerja yang sangat hati-hati yang berusaha menyesuaikan tehnik pemilihan umum dengan keadaan Indonesia.

Bahkan setelah rancangan undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang masih ada sejumlah hambatan politik yang mencegah pemilihan umum dilaksanakan dengan segera. Upaya kabinet Wilopo untuk membentuk sebuah Panitia Pemilihan Umum Pusat gagal, karena tidak tercapai kata sepakat antara rekan-rekannya dalam koalisi mengenai susunan panitia itu. Baru pada Desember 1953 terbentuk Panitia Pemilihan Indonesia. Dalam badan ini tidak ada wakil dari partai-partai yang beroposisi terhadap kabinet pimpinan PNI yang diketuai oleh Ali Sastroamidjojo. Pihak oposisi dapat memberikan bukti-bukti bahwa kabinet Ali dengan sengaja menunda pemilihan umum sampai semua partai yang tegabung dalam kabinetnya berhasil memperkuat kedudukan.

April 1955 Panitia Pemilihan Indonesia mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk anggota Parlemen dan anggota Konstituante akan dilaksanakan masing-masing pada 29 September dan 15 Desember 1955. Keraguan  muncul ketika terjadi peristiwa pada 27 Juni 1955 yang memicu krisis baru militer-politik dan mengakibatkan kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh. Tetapi kabinet yang menggantikan Ali yakni Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pada tanggal yang telah ditetapkan.


B.   Kampanye

Kalau kita perhatikan partai-partai politik di Indonesia pada masa sebelum pemilihan umum antara 1945 dan awal 1953, akan terlihat garis batas yang jelas antara masa sebelum dan sesudah penyerahan kedaulatan. Pada masa 1945-1949, partai-partai tidak hanya bertarung memperebutkan kekuasaan politik di Republik ini. Partai-partai juga bertarung secara politik dan melalui sayap militer masing-masing untuk mempertahankan kelangsungan hidup Republik Indonesia. Terdorong untuk menggalang dukungan aktif petani terhadap Republik, partai-partai memperluas pengaruh di desa-desa. Di pedesaan hanya sedikit pesaingan diantara partai-partai yang muncul adalah kecenderungan suatu wilayah yang luas menjadi daerah pengaruh partai tertentu. Akibatnya di tingkat desa tidak banyak dilakukan upaya untuk mendirikan organisasi resmi partai.

Disisi lain dalam kurun waktu 1950-1953 setelah tercapai kemenangan atas Belanda dan partai-partai politik mengerahkan seluruh perhatian pada pertarungan kekuasaan diantara mereka sendiri, kegiatan partai-partai ditingkat desa merosot. Dengan maksud memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk memperoleh hasil maksimum ditingkat nasional, partai-partai politik sibuk memperluas pengaruh pada kelompok-kelompok sosial yang paling kuat. Demikianlah maka persaingan antara partai-partai terjadi dikota-kota besar, di perkebunan dan pertambangan, dan di daerah-daerah yang banyak didiami bekas pejuang revolusi. Persaingan jarang terjadi dikota kawedanan atau kota kecamatan apalagi di desa.

Daya tarik dan himbauan kampanye partai-partai tidak bisa dipahami kecuali bila diletakkan pada latar belakang isu-isu yang diperjuangkan dalam kegiatan politik di Jakarta atau ditingkat nasional sebagaimana disiarkan dalam surat kabar ibu kota. Ketika undang-undang pemilihan umum disahkan pada April 1953, kabinet Wilopo, suatu koalisi Masyumi dan PNI sudah goncang. Itulah sebabnya hal pokok yang menentukan isi kampanye di Jakarta atau tingkat nasional adalah pertentangan antara Masyumi dan PNI.

Dalam pidato kampanye mengenai tokoh-tokoh partai, tekanan juga sering diberikan pada peranan sang tokoh sebagai pejuang nasionalis. Hal lain yang ditonjolkan adalah kejujuran, keahlian, tindakan tegas dan radikal dan kewibawaannya sebagai “bapak” yang disegani. Dalam kampanye komunis, sang tokoh digambarkan sebagai “saudara”dan “kawan” yang memahami rakyat karena dia juga berasal dari rakyat. Di tingkat desa, kampanye umumnya juga menonjolkan ciri-ciri pribadi tokoh-tokoh desa.

Sejarah partai dan tokoh-tokohnya ditonjolkan dalam kampanye di semua tingkat, tanda gambar ditonjolkan terutama dalam kampanye di tingkat desa. Setiap partai menyusun tafsiran-tafsiran yang menarik dari sisi pola budaya nasional dan daerah.

Pemilu tahun 1955 tidak menjamin kelanjutan sistem demokrasi parlementer. Sistem itu malah dihapuskan hanya beberapa tahun sesudahnya. Hal tersebut memang besar ironi. Kampanye pemilu yang sangat sengit itu dan berlangsung lama sekali yang memperuncing konflik sosial di banyak daerah. Ketiadaan konsensus politik yang mencolok pada masa kampanye itu menjadi jelas lagi pada masa pasca pemilu, yaitu pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo kedua (Maret 1956-Maret 1957). Dari empat partai yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili dalam kabinet Ali itu. Tetapi, konflik PNI dan Masyumi berjalan terus di dalam kabinet itu, sehingga kabinet dilihat lemah dan kurang tegas. Hal itu menyuburkan lahan bagi beberapa aktor politik yang dari dulu merasa diri dikesampingkan oleh sistem demokrasi parlementer. Yang paling nyata Presiden Soekarno dan pimpinan tentara.

Ratifikasi UU Pemilu, menurut Feith, menjadi titik awal berlangsungnya beberapa aspek kampanye partai-partai politik. Pengesahan tanda gambar partai pada 31 Mei 1954 oleh Panitia Pemilihan Indonesia menandai tahap kampanye berikutnya. Setiap partai politik menerapkan strategi kampanye yang beragam, mulai dari menyelenggarakan rapat umum atau rapat anggota di tingkat nasional sampai desa, perayaan ulang tahun atau hari besar agama, pawai, memutar film, memperagakan lambang atau tanda gambar partai dengan beragam material dan melalui berbagai media, memasang spanduk, kampanye melalui media massa atau penyebaran pamphlet dan brosur, kunjungan dari rumah ke rumah, dan lain-lain. PKI – dan dalam skala yang lebih kecil, PNI -- menyelenggarakan pertunjukan-pertunjukan kesenian untuk menarik perhatian massa pemilih.

Selama kampanye para partai besar sangat menyadari bahwa pentingnya mempunyai banyak anggota, jadi hampir setiap partai bekerja keras mencari anggota baru sebanyak-banyaknya. Selain anggota partai-partai juga terpengaruh oleh sumber keuangan ini digunakan untuk membangun jaringan organisasi untuk konferensi  dan pelatihan, pemeliharaan kantor, gaji pegawai. Selain anggota dan keuangan ada pula faktor yang tak kalah penting dalam kampanye yaitu sumberdaya sosial. Hal ini menjadi penting karena hanya partai-partai yang memiliki hubungan sosial dan politik di desa-desa yang akan mampu membangun jaringan organisasi di berbagai tingkat satu sama lain golongan sosial yang berpengaruh di desa. Sehingga mereka dengan mudah mencari anggota-anggota baru.


C.   Penyelenggaraan Pemilu 1955

a.      Pemilihan Umum Parlemen 29 September 1955

Sistematika Pemilihan

Pada 29 September 1955, atau tidak lama setelahnya lebih dari 39 juta orang Indonesia datang ke tempat pemungutan suara.  Sebanyak 37.875.299, atau 87,65 persen dari 43.104.464 orang yang terdaftar sebagai pemilih di tahun sebelumnya memberikan suara yang sah.  Pemungutan suara yang dilakukan tepat pada tanggal 29 September dapat dilakukan di sekurang-kurangnya 85 persen dari lebih kurang 93.532 tempat pemungutan suara, dan diselesaikan seluruhnya pada tanggal 29 November.

Pemungutan suara diselenggarakan oleh Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara yang multi-partai, beranggotakan lima sampai sebelas orang yang dicalonkan dan dilatih untuk menjalankan tugas itu oleh Panitia Pemungutan Suara Kecamatan.  Kedudukan sebagai ketua Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara terkadang dijabat oleh kepala desa atau salah seorang anggota dewan desa, tetapi tidak selalu demikian. 

Pemungutan suara dimulai pukul delapan pagi dengan pembacaan seperangkat petunjuk oleh ketua Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara dan memperlihatkan kepada umum bahwa kotak suara kosong.  Setelah itu dimulai pemungutan suara.  Seorang pemilih mendatangi dua anggota panitia yang duduk di pintu masuk wilayah tempat pemungutan suara.  Biasanya ia memberikan surat panggilan yang telah disampaikan kepadanya beberapa hari sebelumnya, yang memberitahukan tempat ia harus memberikan suara, meski menurut hukum ia tidak wajib menunjukan surat panggilan itu.  Anggota panitia akan memeriksa namanya pada daftar dan mempersilahkannya masuk.

Tak lama kemudian, setelah tiba waktu gilirannya, pemilih dipersilahkan menuju meja ketua Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara.  Di sini ia diberi kertas suara yang terlipat, yang bagian luarnya ditandatangani oleh ketua dan dua anggota panitia yang bersama-sama duduk di belakang mejanya.
  Dengan membawa surat suara, ia pergi sendirian ke dalam salah satu dari bilik-bilik yang terpisah tempat ia memberi tanda pada surat suara.  Memberi tanda dilakukan dengan melubangi salah satu tanda gambar, atau, dan ini tidak banyak, dengan menuliskan pilihan, yaitu menyalin nama calon yang ada pada daftar calon yang ditempelkan pada dinding bilik.  Setelah melipat kembali surat suaranya, pemilih membawanya ke kotak suara, memperlihatkannya kepada anggota panitia yang bertugas di sana untuk menunjukkan bahwa tiga tandatangan yang diharuskan sudah benar tercantum pada surat suara itu, kemudian memasukkannya ke dalam kotak, dan selanjutnya ia pergi meninggalkan tempat itu.

Pemungutan suara diselenggarakan di berbagai tempat, biasanya di gedung-gedung umum seperti sekolah atau di bangunan murah dari bambu yang didirikan di tempat-tempat umum khusus untuk keperluan pemungutan suara, tetapi kadang-kadang juga di rumah tokoh-tokoh desa.  

Penghitungan suara dilakukan di muka umum oleh Panitia Penyelenggara Pemungutan Suara setelah pukul dua siang atau pukul berapa saja setelah pemungutan suara selesai. Di berbagai tempat sering setelah tengah malam. Setelah hasil penghitungan suara diumumkan, surat suara dibawa ke Panitia Pemungutan Suara Kecamatan yang mengirimkannya ke Panitia Pemilihan Kabupaten. Disitu penghitungan diperiksa dan hasil akhir diumumkan satu, dua, atau tiga bulan kemudian dalam suatu rapat umum.


  Permasalahan Yang Timbul

Pemungutan suara ini suatu prestasi besar kalau kita ingat bahwa seluruh organisasi pemilihan umum itu bekerja atas dasar prinsip administrasi yang baru, yaitu kerjasama antara panitia-panitia multi-partai dan pamong praja yang jadi ketuanya, dan bahwa Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara itu sendiri adalah badan multi-partai, dengan keanggotaan yang sering terdiri dari orang-orang buta huruf dan hanya punya kaitan tidak langsung dengan pemerintahan umum.

Walau beberapa pihak berpendapat bahwa pemilihan umum tahun 1955 adalah pemilihan umum yang paling jurdil dan luber, tetapi hal ini tidak bisa menutup fakta-fakta bahwa saat itu pula terjadi peristiwa-peristiwa yang sedikitnya bisa menciderai penyelenggaraan pemilihan umum.

Dimulai dari permasalahan teknis , di sejumlah tempat khususnya di kota-kota ada kekacauan dalam pengiriman surat panggilan.  Di tempat lainnya pemungutan suara berjalan sangat lamban karena anggota Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara kurang latihan.  Sedangkan di beberapa tempat lagi penghitungan suara tidak cermat dilakukan.  Dalam pemilihan pertama juga terdapat kelemahan yaitu tidak terjaminnya kerahasiaan pada saat pemberian suara dikarenakan terjadinya pengintipan oleh orang-orang berkuasa ke bilik-bilik pemilihan.

Selain masalah teknis, juga terjadi sejumlah teror yang bertujuan menakut-nakuti pemilih dengan maksud menaikan suara untuk Masyumi.  Kelompok Darul Islam Jawa Barat di bawah Kartosuwiryo mengeluarkan beberapa ancaman keras terhadap orang yang memberikan suara.  Selain teror, kekacauan pun ditimbulkan oleh beberapa kelompok, misalnya gerombolan Sulawesi Selatan di bawah Kahar Muzakar cukup berhasil melaksanakan keputusan politiknya untuk secara aktif mengacau pemilihan umum.  Lima orang tentara dan petugas tempat pemungutan suara mereka bunuh.  Beberapa lainnya mereka culik dan ada beberapa tempat pemungutan suara dibakar.  Selain itu surat suara dan kotak suara di kabupaten Makassar, Pare-Pare, dan Donggal juga dicuri.

Laporan-laporan mengenai intimidasi pada tahap akhir kampanye dan pada hari pemungutan suara datang dari hampir seluruh penjuru Indonesia.  Tetapi ada dua tempat yang menonjol dalam hal ini.  Pertama, banyak pemilih merasa ditekan untuk memilih Masyumi di berbagai tempat di Aceh dan di Jawa Barat dimana kekuatan Darul Islam harus diperhitungkan.  Kedua, di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah, intimidasi banyak sekali dan luas, yang dilakukan oleh lurah-lurah PNI dan pembantu mereka, dan di tingkat yang lebih rendah oleh orang-orang Komunis penjaga keamanan desa.

Contoh lain mengenai intimidasi yang memang telah dilakukan, di sejumlah desa Jawa lurah mengancam pemilih dengan hukuman penjara dan denda yang besar kalau tidak memilih PNI.  Di desa-desa lain lurah mengancam akan menunda pesokan garam dan barang-barang kebutuhan lainnya yang biasa mereka bagikan.  Di desa-desa lain, jago-jago desa yang digunakan oleh lurah mengesankan bahwa penduduk akan dipaksa meninggalkan desa kalau tidak mengikuti petunjuk lurah.  Juga tidak dapat diragukan bahwa terjadi intimidasi ketika pemuda-pemuda Komunis, yang bersenjata pisau dan pentungan untuk tugas pengamanan desa bergerak dari rumah ke rumah pada malam hari mengumpulkan tandatangan dan cap ibujari keanggotaan organisasi-organisasi front Komunis, atau mengancam menculik orang-orang yang tidak memilih palu arit.

b.      Pemilihan Umum Konstituante 15 Desember 1955

Setelah dilaksanakannya pemilu pertama yaitu pemilihan umum Parlemen, segera pada tanggal 15 Desember di tahun yang sama dilakukan pemilihan umum Konstituante.  Sistematika pemilihannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan umum pertama.

Sering  dikatakan partai-partai nyaris kehabisan dana.  Banyak partai dan organisasi kecil menyerah setelah hanya memperoleh jumlah suara yang tidak berarti pada pemilihan umum Parlemen.  Namun, yang paling penting, sangat banyak pemimpin politik percaya hasil pemilihan umum kedua tidak bisa dibuat berbeda radikal dengan hasil pemilihan umum pertama.


  Perbedaan Dengan Pemilihan Umum 29 September
Berdasar pengalaman yang diperoleh dalam pemilihan umum Parlemen, Panitia Pemilihan Indonesia mengeluarkan sejumlah instruksi baru mengenai bidak teknis dan kelembagaan untuk pemilihan Konstituante.  Diantaranya yakni, pertama jumlah tempat pemungutan suara meningkat sehingga tidak akan ada yang harus melayani lebih dari 750 pemilih.  Kedua, ketentuan-ketentuan baru dibuat untuk memudahkan pemilih memberikan suara tanpa harus hadir (absentee votes).  Ketiga, dilakukan pemasangan tirai setinggi leher di bagian belakang bilik pemberian suara, hal ini mengakhiri kegagalan pada pemilu pertama 29 September lalu karena dengan adanya pemasangan bilik yang lebih tertutup semakin menjamin kerahasiaan pemilihan.  Keempat, dari sisi penyelenggaraan, kelemahan-kelemahan pemilihan umum 15 Desember lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemilihan umum 29 September.  Kelima, dari sisi penjagaan keamanan pemerintah jauh berhasil.  Keenam, prosentasi orang yang terdaftar dan memberikan suara di daerah bergolak, di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, meningkat dari 71,4 persen menjadi 76,4 persen.  Ketujuh, pemilihan umum Konstituante boleh dikatakan dapat menekan angka kecurangan dan intimidasi yang terjadi pada hari pemungutan suara maupun sebelum itu, karena bukti-bukti yang ada menunjukan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan pemungutan suara pertama.  Kedelapan, partisipasi pemilih yang sangat tinggi seperti yang dilihat pada pemilihan umum pertama ternyata agak sedikit rendah angkanya pada pemilihan umum kedua, jumlah orang yang memberikan suara mencapai 89,33 persen dari seluruh pemilih yang terdaftar, atau hanya 2,21 persen lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan umum pertama.

Suasana baru kemudian muncul di tempat-tempat pemungutan suara, suasana seperti perayaan nasional, serius tetapi tidak lagi tegang.  Ketertiban mewarnai tempat-tempat itu, akan tetapi reaksi dominan para pemilih adalah perasaan lega, bangga, dan puas.  Banyak penduduk desa, begitu pula penduduk kota, sangat gembira setelah memberikan suara, bangga karena bisa berpartisipasi dalam peristiwa yang penting itu.

Memberikan suara membuat si penduduk desa merasa penting, perasaan turut berperan dalam sesuatu yang besar.  Dia bukan merasa ikut memerintah negerinya, tetapi merasa dirinya bagian dari bangsanya dalam arti upacara yang penuh perlambang.  Dan pada umumnya, dia bisa melihat bahwa pemilihan umum berarti dia memiliki hak untuk memilih dari kelompok-kelompok sosial di desanya yang berkedudukan lebih tinggi dari dia dan saling bersaing untuk memperoleh dukungannya.

0 Comments