Revolusi Pertanian Ketiga: Revolusi Hijau (1930an-1960an)

Bapak Revolusi Hijau Dunia, Norman Borlaug
Sumber: PBS


Revolusi Hijau merupakan sebutan non formal yang digunakan untuk memberi gambaran perubahan fundamental dalam penggunaan teknologi pertanian yang dimulai pada tahun 1930-an hingga 1960-an di banyak negara berkembang.

Istilah "Revolusi Hijau" pertama kali digunakan oleh William S. Gaud, administrator Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), dalam pidatonya pada tanggal 8 Maret 1968.

"Perkembangan-perkembangan ini dan lainnya di bidang pertanian mengandung bahan-bahan untuk membuat revolusi baru. Ini bukan Revolusi Merah yang kejam seperti yang dilakukan Soviet, juga bukan Revolusi Putih seperti yang dilakukan Shah Iran. Saya menyebutnya Revolusi Hijau. Revolusi."

Tujuan dari revolusi hijau ini adalah untuk meningkatkan produksi pertanian di beberapa bagian dunia.

Maka tak heran untuk meningkatkan produksi pertanian tersebut, banyak jenis teknologi yang akhirnya dikembangkan denga memanfaatkan beberapa ilmu bantu seperti kimia, biologi, hingga teknik.

Sehingga pada Revolusi Hijau ini menghasilkan adopsi teknologi baru, termasuk varietas unggul sereal, terutama gandum kerdil dan beras.

Tak lupa juga lahirnya pupuk kimia, bahan kimia pertanian, mekanisasi, metode budidaya baru, hingga sistem irigasi terbaru terjadi pada Revolusi Hijau ini.


Berikut ini adalah elemen kunci pada Revolusi Hijau:

1) Penggunaan input teknologi dan modal terkini, 

2) adopsi metode pertanian ilmiah modern, 

3) penggunaan varietas benih unggul, 

4) penggunaan pupuk kimia yang tepat, 

5) konsolidasi kepemilikan tanah, 

6) Penggunaan berbagai mesin mekanik.


Tokoh pemrakarsa dari program Revolusi Hijau adalah ilmuwan pertanian Norman Borlaug yang selanjutnya sering mendatpakn julukan sebagai "Bapak Revolusi Hijau".

Puncaknya Borlaug mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1970 karena dinilai telah menyelamatkan lebih dari 1 miliar orang dari kelaparan.

Pendekatan dasar yang dilakukan Borlaug sendiri adalah pengembangan varietas padi-padian unggul, perluasan infrastruktur irigasi, modernisasi teknik pengelolaan, distribusi benih hibridisasi, pupuk sintetis, dan pestisida kepada petani.

Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa Revolusi Hijau berkontribusi pada pengurangan kemiskinan yang meluas, mencegah kelaparan bagi jutaan orang, meningkatkan pendapatan, mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi penggunaan lahan untuk pertanian, dan berkontribusi pada penurunan angka kematian bayi.


Dampak Sosial Ekonomi

Revolusi hijau juga membawa dampak terhadap kehidupan petani. Revolusi hijau membuat modal produksi menjadi lebih mahal karena petani harus membayar lebih untuk pengolahan tanah, bibit unggul, pupuk dan pestisida sintetis.

Transisi dari pertanian tradisional (di mana input dihasilkan di pertanian) ke pertanian Revolusi Hijau (yang membutuhkan pembelian input) menyebabkan pembentukan lembaga kredit pedesaan secara luas.

Peningkatan tingkat mekanisasi di pertanian yang lebih besar dimungkinkan oleh Revolusi Hijau menghapus sumber pekerjaan yang besar dari ekonomi pedesaan.

Hal tersebut menimbulkan kesulitan ekonomi baru petani kecil dan pekerja pertanian tak bertanah menyebabkan peningkatan migrasi desa-kota. 

Meningkatnya modal produksi ini memaksa petani yang berada di kelas menengah ke bawah untuk berhutang.


Revolusi Hijau di Indonesia

Revolusi hijau mulai diupayakan di Indonesia pada zaman orde baru pada program pembangunan.

Pada tahun 1960-an hingga 1980-an, pemerintah melakukan segala upaya untuk mengembangkan sektor pertanian pascaperang dan menyebabkan ekspansi yang signifikan di sektor tersebut.

Selama era Suharto, pemerintah meluncurkan program transmigrasi yang merelokasi petani tak bertanah dari Jawa yang padat penduduk ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang kurang penduduknya, sehingga memperluas pertanian pertanian di pulau-pulau terluar wilayah tersebut.

Pak Harto dan Bu Tien saat panen raya tahun 1994 di lokasi Transmigrasi, Manokwari.
Sumber: Kompas


Cara pemerintah Indonesia mendorong revolusi hijau sebagai berikut:

1. Intensifikasi Pertanian yaitu cara yang dilakukan dengan memilih bibit unggul, mengolah tanah, irigasi, pemupukan dan memberantas hama. Cara pertama ini disebut juga dengan Panca Usaha Tani.

2. Ekstensifikasi Pertanian yaitu usaha untuk memperluas lahan tani dengan membuka lahan baru

3. Diversifikasi Pertanian yaitu upaya membuat suatu lahan berisi beragam jenis tanaman lewat sistem tumpang sari. Cara ini dapat mencegah gagal panen pokok

4. Rehabilitasi Pertanian yaitu upaya pemulihan produktivitas yang dapat membahayakan kondisi lingkungan


Indikator pertumbuhan yang paling signifikan adalah perluasan perkebunan kelapa sawit, yang menjadi bentuk baru program transmigrasi.

Hingga akhirnya menumbuhkan masalah baru yaitu deforestisasi, semenjak populernya minyak sawit di Indonesia.

Ini mencakup 40 juta hektar kawasan hutan terdegradasi yang telah berubah menjadi padang rumput setelah ditinggalkan oleh pemegang konsesi penebangan.

Selain itu, masalah hutang petani karena besarnya modal untuk revolusi hijau tersebut juga menjadi masalah nyata di Indonesia.

Bahkan, menanggapi masalah hutang petani yang semakin meningkat ini, bank-bank pemerintah setelah tahun 1967 menolak untuk memberikan kredit kepada petani mana pun yang masih memiliki hutang dari program-program pemerintah sebelumnya.

Kebijakan ini segera memicu krisis administrasi, karena akibat dari larangan ini adalah menumbangkan seluruh program peningkatan produksi beras.

Karena banyak petani desa masih berhutang, mereka tidak dapat menerima pinjaman pemerintah tambahan untuk mengamankan pestisida dan pupuk.

Kondisi ini semakin diperparah oleh musim kemarau yang terlalu panjang pada tahun 1967 dan penurunan pasokan beras yang menyertainya pada akhir tahun 1967 dan awal tahun 1968.

Selain itu, iklim politik yang berlaku saat ini seperti mendorong rezim Suharto untuk melakukan pendekatan yang lebih teleskopik dan akselerasi dalam menyelesaikan masalah beras Indonesia.



Sumber:

M.Adriana Sri Adhiati and Armin Bobsien, ed. (July 2001). "Indonesia's Transmigration Programme - An Update". Down to Earth.

Hazell, Peter B.R. (2009). The Asian Green Revolution. IFPRI Discussion Paper. Intl Food Policy Res Inst.

Gaud, William S. (8 March 1968). "The Green Revolution: Accomplishments and Apprehensions". AgBioWorld. Diakses 30 Juni 2022.

Hansen, G. E. (1972). Indonesia’s Green Revolution: The Abandonment of a Non-Market Strategy toward Change. Asian Survey, 12(11), 932–946.