Aesop adalah salah satu penulis Fabel terkenal zaman Yunani Kuno |
Folklore adalah kumpulan
budaya ekspresif yang dimiliki oleh sekelompok orang tertentu. Ini mencakup
tradisi yang sama dengan budaya, subkultur atau kelompok tersebut. Ini termasuk
tradisi lisan seperti dongeng, ungkapan dan lelucon. Mereka termasuk budaya
material, mulai dari gaya bangunan tradisional hingga mainan buatan tangan yang
umum dilakukan kelompok ini. Cerita rakyat juga mencakup pengetahuan adat,
bentuk dan ritual perayaan seperti Natal dan pernikahan, tarian rakyat dan
ritus inisiasi. Masing-masing, baik secara tunggal atau kombinasi, dianggap
sebagai artefak cerita rakyat. Sama pentingnya dengan bentuknya, Folklore
juga mencakup transmisi artefak ini dari satu wilayah ke daerah lain
atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Folklore yang berasal dari dua kata yaitu Folk dan Lore. Folk sama artinya dengan kolektif (collectivity). Menurut Dunles adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan,
sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal fisik itu
antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama,
mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan
agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi bahwa mereka telah memiliki
suatu tradisi, yaitu suatu kebudayaan yang telah mereka warisi secara
turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik
bersama. Di samping itu bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka. Jadi
folk adalah sinonim dari kolektif,
yang juga memiliki cirri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta
mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.
Lore adalah tradisi folk,
yaitu sebagai kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau
melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Definisi folklore secara keseluruhan
adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat bantu pengingat.(Sibarani,
2013)
Folklore
mulai membedakan diri sebagai disiplin sendiri selama periode nasionalisme
romantisisme di Eropa. Tokoh dalam perkembangan ini adalah Johann Gottfried von
Herder, dalam tulisan-tulisannya pada tahun 1770-an mempresentasikan tradisi
lisan sebagai proses organik yang berada di lokasi. Setelah negara-negara
Jerman diserang oleh Napoleon Prancis, pendekatan Herder diadopsi oleh banyak
orang Jerman yang mensistematisasikan Folklore
yang tercatat dan menggunakannya dalam proses pembangunan bangsa mereka. Proses
ini dengan antusias ditiru oleh negara-negara yang lebih kecil seperti
Finlandia, Estonia, dan Hungaria, yang sedang mencari kemerdekaan politik dari
tetangga mereka yang dominan.
(Noyes, 2012)
Dalam
buku The Types of the Folktale, Anti
Aarne dan Stith Thompson membagi dongeng dalam Folklore menjadi empat bagian (Danandjaya,
1991):
1.
Dongeng binatang (animal
tales)
2.
Dongeng biasa (ordinary
folktales)
3.
Lelucon dan Anekdot (jokes
& anecdote)
4.
Dongeng Berumus (formula
tales)
Dalam
artikel ini akan dibahas lebih lanjut mengenai dongeng binatang atau yang biasa
kita kenal dengan fabel. Dongeng binatang atau fabel adalah salah satu karya sastra yang menampilkan
binatang, makhluk legendaris, tumbuhan, benda mati, atau kekuatan alam yang
antropomorfis dengan kualitas manusia, seperti kemampuan untuk berbicara bahasa
manusia dan yang menggambarkan atau mengarah pada pelajaran moral tertentu,
yang pada akhirnya dapat ditambahkan secara eksplisit sebagai pepatah yang bernas.
Salah
satu fabulis terkemuka zaman Yunani yang bernama Aesop seorang budak yang hidup
pada masa 620 – 564 SM menjadi salah satu pioneer dalam penulisan fabel. Hasil
karya Aesop berjumlah 725 seperti yang telah diungkapkan oleh Ben Edwin Perry
yang telah mengindekskan Aesop Fabel dalam Perry
Index. Sedangkan fable-fabel yang berkembang di Indonesia
banyak sekali pengaruhnya dari kawasan India karena erat sekali dengan pengaruh
Hindu dari abad VII-XIII. Snouck Hurgronje, seorang warga negara Belanda yang mendalami penelitian daerah di Aceh,
menemukan naskah fabel yang ditulis oleh seorang Aceh yang belum diketahui
namanya. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia juga telah berkembang literasi
penulisan fabel. (Madjid, 2014)
Si Kancil: Politik dan Kepribadian
Fabel-fabel
yang berkembang di Indonesia umumnya menjadikan Kancil sebagai tokoh
protagonist, karena Kancil menurut McKean dinilai mampu menyimbolkan orang Jawa
yang selalu mendambakan keadaan yang selaras serta tenang dalam menghadapi
suatu cobaan atau dapat bertindak cepat tanpa banyak emosi dalam memecahkan
masalah rumit apapun (cool intelegence) (Danandjaya,
1991). Tak main-main, karakter Kancil ini dipelajari oleh banyak ilmuwan dari
luar negeri laiknya J.L.A. Brandes, B.C. Humme, W. Palmer van den Broek, dan H.
Kern.
Fabel
mempunyai fungsi sebagai lelucon, bahkan lebih lagi mampu sebagai alat kritik
social dari keadaan yang ada atau disebut juga “menasehati dengan hati-hati”. Selain fungsinya sebagai dongeng
pemberi pesan moral baik kepada anak-anak karena lebih mudah dalam
penerimaannya oleh anak-anak. Fabel memang dari awal bertujuan untuk
mengkritisi pemerintah atau kaum atas oleh para kelas bawah tanpa ada rasa
takut akan hukuman karena menggunakan binatang sebagai pelaku yang berlagak sebagai
manusia.
Fabel
dengan judul Animal Farm karya dari George Orwell yang dipublikasikan pada
tahun 1945, yang disebut merupakan penggambaran Revolusi Rusia tahun 1917 yang
kala itu terjadi denan berakhirnya era autokrasi Tsar menuju era Uni Soviet di bawah
pimpinan Stalin. Penggambaran dengan menggunakan binatang Babi bernama Napoleon
sebagai tokoh utama yan mengingikan terjadinya revolusi di Peternakan milik Tn.
Jones yang kurang bertanggug jawab. Fabel Animal Farm ini sangat inspiratif
sekali karena banyak sekali alegori-alegori atau makna-makna yang tersembunyi
dalam kisahnya mulai dari solidaritas, politik, keluarga, bahkan agama yang
dikemas secara menarik dan penuh dengan kesatiran zaman tersebut.
Nampaknya,
isi setiap fabel-fabel yang berkembang setelah abad 20 banyak sekali
dipengaruhi oleh zeitgeist (jiwa
zaman) para penulisnya. Aesop dalam setiap fabelnya banyak menceritakan
mengenai keresahan-keresahan selama ia menjadi budak. Konsep fabel karya dari
Aesop masih menggunakan konsep etiology
(Blackman, 1985) atau disebut juga dengan penjelasan mengenai suatu kejadian menggunakan hukum
sebab akibat. Sehingga di kahir frasa dalam fabel Aesop selalu diberikan nilai
moral-moral positif.
Jiwa
zaman George Orwell juga sangat Nampak dalam penggambaran novel fabel Animal
Farm, dimana ia menggambarkan tokoh-tokoh terkenal seperti Stalin dengan Babi
bernama Napoleon sebagai protagonis utama dan Tuan Jones yang dialegorikan
sebagai Kaisar Tsar Nicolas II yang dianggap lemah. Tragedi dan intrik-intrik politik
yang terjadi di Revolusi Rusia kala itu digambarkan dengan menarik oleh George
Orwell dalam situasi peternakan yang juga sama chaos-nya saat terjadinya
Revolusi Rusia 1917. Perbedaan Animal Farm ini dari fabel-fabel yang lain
adalah beta kompleksnya cerita yang disajikan, tidak seperti fabel-fabel yang
berkembang lainnya yang singkat dan menitik beratkan pada nilai moralnya.
Bahkan, bisa disebut fabel Animal Farm sebagai fabel yang sangat buas karena
sangat satir dalam alurdan ceritanya.
George
Orwell yang lahir dengan nama asli Eric Artur Blair tahun 1903 di Bengal,
India, semasa mudanya memang hidup di beberapa Negara berbeda, baik beda budaya
hingga beda intrik politiknya, mulai dari Burma (sekarang Myanmar), Inggris,
Prancis, hingga Spanyol. Banyak sekali peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
di kala hidupnya mulai dari Perang Sipil Spanyol hingga Perang Dunia II yang
menjadikan dirinya sangat terpacu dan memberanikan diri untuk menulis apa yang
dia ketahui mengenai keadaan saat itu melalui aspek-aspek tertuntu suatu
peristiwa. Perang Sipil Spanyol menjadi titik tolak bagi Orwell dalam menulis,
ia mulai berani menulis mengenai keadaan yang genting disana, kemudian ia
bukukan dengan judul Homage to Catalonia
(1937). Keadaan disanalah yang membuat ia juga membuat komitmen untuk melawan
kekejaman fasismeyang kemudian menuntun ia menjadi lebih aktif lagi dalam
menulis sehingga lahirlah fabel Animal Farm (1945).
Indonesia
juga pernah terdapat sebuah buku “Mengusir
Matahari: fabel-fabel Politik” (1999) karangan dari Kuntowijoyo. Fabel ini
merupakan perpaduan dari Aesop dan George Orwell, karena disajikan dengan
singkat dan sangat mendapatkan kesan satir dan alegori dalam setiap ceritanya.
Fabel karya Kuntowijoyo ini sangat kental dengan budaya “Jawa-nya”, serta menurut saya sangat kental dengan unsur
mengkritisi keadaan pada masa Orde Baru. Bisa disebut bahwa fabel ini sedikit
nakal karena penggunaan bahasa sehari-hari bahkan juga terdapat bahasa slang.
Kuntowijoyo
dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia.
Karya Kuntowijoyo, banyak mencakup aspek Islam dan budaya Jawa, sebagian
dipengaruhi oleh masa kecilnya dan ia mengatakan bahwa banyak karyanya yang
berdasarkan pengalamannya sendiri
(Anwar, 2007). Fabel Mengusir Matahari ia ciptakan dengan latar belakang bahwa ia
mempunyai keinginan untuk memperluas pembaca karya-karyanya, tak hanya oleh
kalangan intelektual saja yang bisa membaca karangannya, dengan pembawaan fabel
yang ceritanya ringan nan jenaka hingga mampu menjangkau pembaca dari kalangan
bawah.
Fabel kini: Literasi dan Digitalisasi
Fabel
mengalami perubahan dalam segala bentuk. Awalnya berupa hasil budaya folklore
dari lisan ke lisan mulai beralih menjadi budaya tulis literasi dan kini
semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan era digital menjadi bentuk komik
hingga kartun. Perubahan pola dari struktur yang sederhana menuju struktur yang
lebih kompleks atau rumit ini oleh Auguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile
Durkheim disebut engan pola perubahan linier. Definisinya bahwa fabel mengalami
pergeseran, dimana menyesuaikan masyarakat yang selalu brgerak dan berkembang,
walaupun perubahan pola ini terjadi secara bertahap dan dalam tempo yang tidak
sekejap.
Kedudukan
fabel sebagai alat kritik sosial juga tidak lagi sepeti tempo dahulu, karena
semakin berkembangnya teknologi dan semakin bebasnya dalam berpendapat atau
mengkritik pemerintah. Fabel awalnya memang menjadi alat untuk mengkritisi
pemerintah tanpa ada rasa takut akan hukuman, karena menggunakan binatang
sebagai pelaku yang berlagak eperti manusia. Jaman dahulu sangat tidaklah etis
langsung mengkritisi pemerintah atau pejabat, hukumannya pun tidak main-main
karena hal tersebut bisa dinilai sebagai tindakan makar yang bias dihukum
dengan kurungan penjara, bahakan yang paling kejam adalah hukuman mati. Maka
satu-satunya cara adalah memberi nasihat kepada pemerintah dengan menggunakan
fabel, selain lebih mengandalkan pesan moral berupa nasehat, fabel juga sarat
akan lelucon jenaka yang satir menggelitik.
Fabel
tampak seperti telah kehilangan tempat, tapi bahwasanya fabel telah mendapat
tempat yang baru dalam dunia digitalisasi. Walt Disney adalah pionir dalam
bidang ini, memulai karirnya pada tahun 1920-an, seorang kartunis yang ulet dan
mempunyai visi yang cemerlang. Ia mulai memproduksi kartun atau gambar bergerak
pada tahun 1928 (Thomas, 1994) dengan Mickey
Mouse sebagai ikonnya. Ya, seekor tikus yang berlagak seperti manusia. Tak
henti disitu banyak hasil karya dari Walt Disney ini mendapat apresiasi dari
dunia, utamanya setelah Disney mulai memproduksi kartun-kartun yang mempunyai
basis cerita dongeng-dongeng dari seantero dunia. Dongeng-dongeng karya Hans
Cristian Andersen juga mulai digarap menjadi film-film terkenal.
Garapan
terbaru Disney adalah kartun dengan Zootopia
(2016) yang menceritakan satu kota Zootopia yang merupakan kota metropolitan
dari dunia binatang, dengan peran protagonist yang diperankan oleh seorang
kelinci kecil bernama Judy Hoops yang berusaha mewujudkan mimpinya menjadi
seorang polisi. Cerita berlanjut saat terjadi konflik dalam pemerintahan yang
memaksa Judy Hoops harus bekerjasama dengan seekor rubah bernama Nick Wilde
guna menyelesaikan kasus konsiprasi di Zootopia.
Menurut
saya, ini adalah fabel jenis baru yang jenius karena penggambaran binatang
sangat mendetail dalam mendalami karakter manusia. Film fabel ini memberikan
nama bagi setiap binatang yang berperan, ini adalah hal yang baru dalam
kategori fabel. Kita juga bisa langsung mengamati bagaimana binatang-binatang
ini memainkan emosi (senang, marah, emosi, menangis) seperti manusia. Film
fabel ini juga tidak mengesampingkan kaidah-kaidah fabel dahulu, seperti
nilai-nilai moral yang bias diambil dalam film serta kritik-kritik sosial
terhadap kehidupan sehari-hari yang berada dalam kota Metroplitan yang
multikultural penduduknya.
Harapan
ke depannya pastilah kita berharap agar supaya kartun fabel atau film fabel
seperti Zootopia mampu diproduksi dengan nilai kearifan lokal literasi yang ada
di Indonesia. Haruslah digali lebih mendalam lagi bagaimana fabel modern bisa
mendapatkan tempatnya dikalangan masyarakat Indonesia kini yang rasanya kering
akan kejenakaan fabel-fabel Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aesop. 2016. Kumpulan
Fabel Sastra Klasik. Kakatua: Yogyakarta.
Blackham, H.J., 1985. The Fable
as Literature. New York: Bloomsbury Academic.
James
Danandjaya. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,
dan Lain Lain. Pustaka Grafiti Pers. Jakarta.
Kuntowijoyo. 2010. Mengejar
Matahari: Fabel-fabel Politik. Tiara Wacana: Yogyakarta.
M. Dien
Madjid. 2014. Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat, Jakarta:
Yayasan Obor.
Moh. Wan Anwar. 2007. Kuntowijoyo:
Karya dan Dunianya.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Noyes, Dorothy. 2012. "The
Social Base of Folklore". In Bendix, Regina; Hasan-Rokem, Galit. A
Companion to Folklore. Malden, MA: Wiley-Blackwell.
Orwell,
George. 2016. Animal Farm. Bentang
Pustaka, Yogyakarta
Ricklefs, M.C., 1995. Sejarah Modern Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.
Thomas,
Bob. 1994. Walt Disney: An American
Original. New York: Disney Editions.
0 Comments