Folklore: Definisi & Esensinya


Folklore  adalah kumpulan budaya ekspresif yang dimiliki oleh sekelompok orang tertentu. Ini mencakup tradisi yang sama dengan budaya, subkultur atau kelompok tersebut. Ini termasuk tradisi lisan seperti dongeng, ungkapan dan lelucon. Mereka termasuk budaya material, mulai dari gaya bangunan tradisional hingga mainan buatan tangan yang umum dilakukan kelompok ini. Cerita rakyat juga mencakup pengetahuan adat, bentuk dan ritual perayaan seperti Natal dan pernikahan, tarian rakyat dan ritus inisiasi. Masing-masing, baik secara tunggal atau kombinasi, dianggap sebagai artefak cerita rakyat. Sama pentingnya dengan bentuknya, Folklore  juga mencakup transmisi artefak ini dari satu wilayah ke daerah lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Folklore yang baerasal dari dua kata yaitu Folk dan Lore. Folk sama artinya dengan kolektif (collectivity). Menurut Dunles adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal fisik itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu suatu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka. Jadi folk adalah sinonim dari kolektif, yang juga memiliki cirri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.

Lore adalah tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat Bantu pengingat. Definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.[1]

Folklore mulai membedakan diri sebagai disiplin sendiri selama periode nasionalisme romantisisme di Eropa. Tokoh dalam perkembangan ini adalah Johann Gottfried von Herder, dalam tulisan-tulisannya pada tahun 1770-an mempresentasikan tradisi lisan sebagai proses organik yang berada di lokasi. Setelah negara-negara Jerman diserang oleh Napoleon Prancis, pendekatan Herder diadopsi oleh banyak orang Jerman yang mensistematisasikan Folklore yang tercatat dan menggunakannya dalam proses pembangunan bangsa mereka. Proses ini dengan antusias ditiru oleh negara-negara yang lebih kecil seperti Finlandia, Estonia, dan Hungaria, yang sedang mencari kemerdekaan politik dari tetangga mereka yang dominan. [2]


Ciri Folklore
1.      Penyebaran secara lisan, pada masa kini terjadi dengan bantuan mesin cetak, elektronik, bersifat tradisional, menyebar dalam bentuk relative tetap dan hadir dalam varian yang baru bahkan berbeda yang bersifat aonim yang memiliki pola atau bentuk tertentu dan memanfaatkan bentuk bahasa yang klise. Serta mempunyai fungsi sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes social, bersifat pralogis dan kolektif.
2.      Menampung kreasi-kreasi masyarakat, baik primitive maupun modern dengan menggunakan bunyi, gerak, maupun kepercayaan yang bersifat takhayul. Hal ini dapat disaksikan dengan banyaknya puisi-puisi atau prosa-prosa yang diturunkan langsung dan diajarkan dari mulut ke mulut, bahkan gerakan tarian yang langsung diajarkan seseorang kepada generasi selanjutnya.
3.      Bersifat Anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui oleh orang lain.
4.      Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini diakibatkan karena penciptanya sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
5.      Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.

Jenis-jenis
1.      Folklore Verbal
Definisi formal dari verbal adalah kata-kata, baik tertulis maupun lisan, yang "diucapkan, dinyanyikan, disuarakan bentuk ujaran tradisional yang menunjukkan pola berulang. Folklore verbal adalah folklore yang paling asli, didefinisikan oleh William Thoms sebagai tradisi budaya lisan tradisi masyarakat pedesaan. Dalam karyanya yang diterbitkan pada tahun 1846 Thoms meminta bantuan dalam mendokumentasikan barang-barang antik, Thoms menggemakan agar para ilmuwan dari seluruh benua Eropa untuk mengumpulkan artefak pengetahuan verbal. Pada awal abad ke-20 koleksi ini telah berkembang termasuk artefak dari seluruh dunia dan beberapa abad yang lalu. Hal ini sangat membantu dalam perkembangan folklore verbal.[3]
2.      Material Folklore
Material Folklore adalah teknologi budaya rakyat. Desain rumah, lumbung, rumah adat, dan bangunan lainnya serta mainan, kostum, alat musik, jika dipelajari dari sumber tradisional adalah folklore. Thoms mungkin tidak pernah memikirkan gagasan bahwa hal yan verbal dan material sangatlah dapat diperdebatkan, keterkaitan antara warisan yang nyata (tangible) dan tak nyata (intangible) dapat dibandingkan ini merupakan penguat yang tidak disengaja yang mencerminkan nilai dan tempat budaya material dalam folklore. Walaupun tradisi verb dikatan folklore yang asli, koleksi material terdiri dari karya dinilai dapat mengumpulkan momentum di dalam lingkaran folklore, memberikan tingkat sebagai 'agen disiplin' .
3.      Custom Folklore
Mempunyai pengertian folklore dalam aksi atau tindakan, contohnya bersalaman tangan, jari tengah ke atas, atau jempol ke atas. Selain dalam bentuk single gesture atau tindakan perseorangan, custom folklore juga dapat berupa sebuah performa atau perayaan, seperti bancakan, thanksgiving,.
4.      Childlore
Childlore adalah cerita rakyat atau budaya rakyat anak-anak dan remaja. Ini termasuk, misalnya, sajak dan permainan yang dimainkan di taman bermain sekolah. Sebagai cabang dari folklore, childlore prihatin dengan kegiatan-kegiatan yang dipelajari dan diteruskan oleh anak-anak untuk anak-anak lain. Cerita dan permainan yang diajarkan oleh orang dewasa kepada anak-anak tidak dianggap sebagai anak kecil kecuali sepanjang anak-anak beradaptasi dan membuatnya menjadi milik mereka sendiri. Tradisi masa kecil umumnya berhenti setelah anak memasuki sekolah menengah, yang bertepatan dengan masa pubertas dan masa remaja. [4]

Sebagian besar cerita rakyat Indonesia dimulai sebagai tradisi lisan. Diberitahu oleh pendongeng atau orang tua dari generasi ke generasi di desa-desa di Indonesia. Ceritanya sering dinyanyikan atau dikisahkan dalam beberapa tradisi lisan seperti pantun, tembang, atau nyanyian anak-anak. Beberapa sedang dilakukan dalam pentas seni seperti wayang dan sendratari. Dalam tradisi Melayu beberapa di antaranya ditulis dalam kitab suci sebagai hikayat, sedangkan dalam tradisi Jawa beberapa cerita rakyat berhubungan dengan tokoh sejarah dan catatan sejarah seperti kitab suci kakawin babad atau lebih tua seperti Pararaton. 

Epik Hindu-Budha India juga mempengaruhi cerita rakyat Indonesia, terutama melalui wayang dan drama tari di Jawa dan Bali. Epik Hindu Ramayana dan Mahabharata memiliki episode terpisah tersendiri yang sering membentuk cerita terpisah dengan liku dan interpretasi bahasa Indonesia yang sering berbeda dari versi India. Kisah Buddha Jataka juga telah berhasil masuk ke dalam cerita rakyat fabel Indonesia. Cerita Jataka ditemukan diukir sebagai relief dasar naratif pada candi Jawa kuno, seperti candi Mendut, Borobudur dan Sajiwan. Menceritakan kisah binatang dongeng tentang keutamaan Buddha dengan tindakan kebaikan yang luar biasa dalam inkarnasi binatang sebelum dilahirkan kembali sebagai Boddhisattva dan Buddha masa depan.



[1] Sibarani, Robert dalam Folklore Sebagai Media Dan Sumber Pendidikan: Sebuah Ancangan Kurikulum Dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai Budaya Batak Toba hlm.2
[2] Noyes, Dorothy (2012). "The Social Base of Folklore". In Bendix, Regina; Hasan-Rokem, Galit. A Companion to Folklore. Malden, MA: Wiley-Blackwell. pp. 13–39.
[3] Georges, Robert A.; Jones, Michael Owen (1995). Folkloristics : an Introduction. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
[4] Grider, Sylvia Ann. The Study of Children's Folklore. Western Folklore 39.3, Children's Folklore (1980): 159–69.

0 Comments