Resensi : Senjatanya Orang-orang Kalah




Identitas buku
Judul buku      : Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah
Penulis            : James C. Scott
Penerjemah     : Prof. A. Rahman Zainuddin (bab 1- bab 3)
                          Prof. Sayogyo (bab 4-bab 5)
                          Ibu Mien Joebhaar (pendahuluan, bab 6-bab 8, dan lampiran)
Penerbit          : Yayasan Obor Indonesia
Kota terbit      : Jakarta
Tahun terbit    : 2000
Tebal buku      : xxxii + 512 halaman



SENJATANYA ORANG - ORANG YANG KALAH

Buku salah satu karangan James C. Scott yang berjudul senjatanya orang – orang yang kalah ini mengupas topik yang menarik, yakni bagaimana cara kaum yang lemah dan selalu kalah dalam masyarakat menentang kelakuan semena-mena dan exploitatif dan kelompok ekonomi dan politik yang kuat, baik yang berasal dari dalam masyarakat mereka sendiri maupun yang datang dari luar.
Buku ini menjelaskan dua tokoh yang memiliki karakter yang sama, tetapi mempunyai status yang berbeda. Peristiwa ini merupakan kejadian yang terjadi di kampung Sedaka yang terletak di Malaysia 20-30 silam dan sekarang mungkin situasi kaum tani di Malaysia sudah berubah, namun itu tidak berarti bahwa apa yang diceritakannya tidak relevan untuk disimak dan dipahami oleh pembaca di Indonesa, yang kaum taninya dari dulu hingga sekarang seolah jalan ditempat saja. Ketidak puasan semakin meningkat yang disebabkan adanya tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemerintah tidak berpihak kepada kaki bawah, bahkan dunia petani tampak menonjol sebagai pelaku sejarah. Tetapi sebagai kontributor penyediaan tenaga militer, pajak, migrasi buruh, pemilikan tanah, dan produksi hasil pertanian. Terlepas dari kondisi itu timbul  semangat pemberontakan petani. Namun yang terjadi sebenarnya bahwa revolusi yang dilakukan petani bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan oleh sekelompok orang. Bentuk-bentuk perlawanan antar kelas tersebut memiliki perasaan. Dalam beberapa segi dan perlawanannya tidak memerlukan koordinasi dan perencanaan.
Dibeberapa kesempatan, perlawanan itu menjadi aktif bahkan mengarah pada tindak kekerasan, namun peran petani pasif. Sehingga perlawanan tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yang antara lain secara de facto dari de jure maksudnya perlawanan yang dilakukan sehari-hari, informal, tidak tebuka. Perlawanan secara de facto yaitu perlawanan secara terbuka, yang dihasilkan oleh perlawanan itu juga lebih terasa, karena pemberontakan itu lebih mempunyai arti yang lebih mengena dalam pemerintahan. Bentuk dari perlawanan itu adalah berpura-pura bodoh. Cara ini sangat efektif untuk mengalahkan dominasi orang-orang kaya, karena mereka kebanyakan tidak sadar akan keberadaan orang-orang kecil sehingga masyarakat petani yang lemah ini melakukan bentuk pertarungan jangka panjang, antara petani dan pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa, dan bunga dari mereka. Senjata yang dipergunakan oleh masyarakat petani lemah ini, antara lain memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, penyabotan, dan sebagainya. Mereka hampir tidak memerlukan koordinasi atau perencanaan, menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus sendiri, dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis yang langsung dengan penguasa. Cara-cara seperti ini dalam jangka panjang justru terbukti paling efektif. Teknik-teknik lowprofile ini sangat cocok untuk struktur sosial kelas petani, tanpa organisasi formal dan siap untuk melakukan kampanye defensive menghabiskan tenaga lawan dengan gaya gerilya.
Tindakan-tindakan perlawanan yang dilakukan secara perorangan, diperkuat dengan budaya perlawanan rakyat dan diperbanyak ribuan kali, pada akhirnya akan meneguhkan ‘batu karang’ ekonomi dan politik mereka. Sebagian besar dengan cara inilah kelas petani menyatakan kehadiran politisnya. Dan setiap saat, kapal besar yang bernama negara dapat saja kandas pada batu karang perlawanan rakyat petani ini.
Kampung Sedaka sendiri merupakan ciptaan mereka sendiri, Sedaka pada umumnya merupakan penciptaan dari dunia kecil mereka. Namun saat itu pun mereka belum dapat dikatakan otonom. Negara sudah melakukan mobilisasi buruh untuk menggali pengairan, dan dengan demikian membuka tanah pertanian yang baru dan memperluas basis pendapatan. Perdagangan beras melalui Penang sudah cukup menggerakkan ekonomi sehingga terbuka terhadap kekuatan pasar yang lebih besar. Di balik kekuatan sosial yang membentuk dunia mereka ini, terdapat perilaku aneh yang sifatnya tidak terduga yang menentukan apakah mereka bisa makan dan pada jarak antara perekonomi antara kaya dan miskin semakin meningkat, maka semakin bertambah juga kesempatan kelas yang memiliki hak istimewa untuk mendapat pengaruh. Mengenai bebrapa masalah yang terjadi, misalnya harga padi atau subsidi pupuk, maka keadaan ini mungkin sedikit perbedaannya. Hal ini karena kepentingan yang kaya dan miskin yaitu sama. Namun dalam banyak hal yang lain, seperti mekanisasi, kebijakan upah pertanian, hak untuk memperoleh redit, sewa sawah, land reform, maka kepentingan mereka akan bertentangan sama sekali antara yang kaya dan yang miskin.
Kampung Sedaka 1967-1979, kampung Sedaka termasuk di dalam kecamatan administratif Yan, yang membentang di perbatasan seltan Proyek Irigasi Muda. Di kota kecil Yan, kira-kira delapan mil dari arah selatan, terdapat kompleks kantor kecamatan yang meliputi kantor peternakan setempat, kantor polisi, dan klinik. Di kota Yan ini penduduk kampung melakukan dan mengesahkan transaksi tanah untuk sewa jangka panjang. Di tempat itu juga mengadakan gadai perhiasan emas di pegadaian. Secara administratif, kampung ini diperlakukan sebagai unit tersendiri. Jika hal ini tidak terjadi, maka penduduk kampung akan berusaha supaya Sedaka diakui sebagai cabang tersendiri. Yang paling penting, yaitu eksistensi moral Sedaka diakui dalam percakapan.
Kemudian ditinjau dari pola pemukiman, perekonomian, ukuran, serta sejarahnya, kampung Sedaka ini cukup khas mewakili kampung-kampung usaha tani padi di Dataran Kedah. Namun sama halnya dengan ratusan kampung lain, dan pemilihan kampung Sedaka sebagai tempat tinggal dan tempat untuk penelitian memerlukan penjelasan. Syarat pertama yaitu kampung yang hampir seluruhnya mengkhususkan diri pada penanaman padi. Sedaka pun memenuhi syarat dengan sempurna. Dan syarat yang kedua yaitu bahwa kampung Sedaka harus sudah dikaji sebelum tahun 1971 saat sistem panen dua kali mulai dilaksanakan, sehingga setidaknya bisa ditentukan apa perubahan-perubahan mendasar dalam perekonomian setempat.
Hanya sekitar empat kampung yang bisa memenuhi syarat ini. Kampung yang pertama kali dikunjungi yaitu kampung Sedaka. Ketimpangan yang mencolok merupakan gambaran yang integral kehidupan ekonomi di Sedaka sebelum dilakukan panen dua kali. Dari dalam, penduduk Sedaka menanggapi dengan tanda-tanda klasik yang mengungkapkan optimisme itu. Dari luar, sepertinya musim dua kali panen telah menempatkan petani setempat pada landasan ekonomi yang kuat dan memberi kelonggaran dari tekanan kependudukan, keadaan berhutang, dan migrasi tenaga kerja, ketimpangan itu terlihat dari visual yang paling biasa seperti pakaian, perumahan, makanan, meubel, alat dapur, usaha tani, radi, dan pesawat televisi. Sejak panen dua kali setahun dimulai, hanya sembilan penduduk desa yang telah membeli atau menjual tanah. Pola transaksi ini mengungkapkan tidak hanya penurunan dalam kecepatan konsentrasi tanah namun juga fakta proses itu. Para pembeli tanpa kecuali yaitu orang kaya dan penjual yang terutama adalah penduduk miskin.
Sejarah menurut Pemenang dan Pecundang” merupakan inti pengalaman sosial suatu kelas yaitu tumbuhnya pemahaman yang membedakan dan diraskan bersama tentang sejarah, yaitu suatu pemahaman yang membedakan suatu kelas dari kelas-kelas lain. Secara kolektif, perspektif ini mengacu pada suatu pandangan hidup yang dirasakan bersama yang mencakup standar keadilan serta penerapannya terhadap kejadian yang lampau dan sekarang.
Hal yang menyebabkan pergeseran itu menentukan bahwa dampaknya telah mencirikan yang menang dan kalah, terutama sepanjang garis kelas. Sebagai suatu perangkat pengalaman sejarah, pergeseran itu telah memberikan basis maupun kesempatan untuk pertentangan yang teredam antara yang kaya dan miskin faktor yang menyebabkan akan terjadinya eskalasi yang kecil, antara lain: hampir sebagian kampung lebih sejahtera sekarang daripada sebelum sistem dua kali panen, orang-orang telah menyaksikan peruntungannya berbalik tidak lagi pada tepi suatu krisis yang akan mengancam kehidupan dan nafkahnya, struktur sosial Sedaka dan kampung-kampung lain di Kedah tidak mengandung kontras yang dramatis dan tajam antara kelas kecil tuan tanah yang monopolistik di pihak yang satu dan massa besar petani miskin yang seragam di pihak lain seperti contoh yang ada di masyarakat petani, di Sedaka terdapat berbagai ragam ikatan ritual yang ada di luar hubungan langsung produksi dan sekaligus berguna untuk menciptakan dan menandai eksistensi suatu komunitas. Secara tradisional, ada tiga macam hadiah ritual yang mengikat kaum kaya dengan kaum miskin di Sedaka, yaitu zakat pribadi, sedekah atau derma, dan kenduri atau selamatan yang dihadiri oleh orang kampung lain yang diundang.
Kesempatan panen dua kali dan mekanisasi di Sedaka ini telah dengan beberapa pengecualian telah diraih penuh semangat. Namun untuk memanfaatkan kesempatan baru ini, para petani kaya dan tuan tanah kaya memutuskan banyak ikatan sosial dan ekonomi yang dahulu mengikat mereka dengan penduduk kampung yang miskin. Mereka harus menyewa mesin sebagai pengganti tenaga kerja kampung, menaikkan sewa tanah, menolak penyewa lama, dan menghilangkan kewajiban amal dan upacara mereka di kalangan mesyarakat kampung.
Di Sedaka, gengsi budaya dan ritual banyak petani kiskin sangat dipermalukan, bahkan sebelum diadakan sistem dua kali panen. Misalnya, di kampung Sedaka banyak sekali wanita miskin yang nikah pada umur lanjut, bahkan sama sekali tidak nikah. Seorang laki-laki kadang menjuluki wanita itu dengan anak dara tidak laku. Namun mereka juga menambahkan bahwa orang tua sang dara tidak dapat menjanjikan tanah garapan pada calon menantunya.
Melampaui Perang Kata-Kata perlawanan bukanlah apa yang petani lakukan untuk mempertahanakan diri dan kelangsungan rumah tangga mereka. Survival atau kelangsungan hidup sebagai komoditas, membuat buruh tani memaksa beberapa di antara mereka harus menyelamatkan diri di atas kerugian sesama rekan. Petani gurem yang mencuri padi dari orang miskin lain atau yang mengajukan penawaran harga sewa lebih tinggi, menjaga kelangsungan hidupnya, tetapi pasti tidak mengadakan perlawanan dan  pada waktu dan tempat yang berbeda, mereka telah membela diri terhadap praktek-praktek kerja rodi, perpajakan, serta wamil, dari negara agraria tradisional terhadap negara kolonial terhadap seragam-seragam kapitalisme, misalnya sewa, bunga, mekanisasi terhadap negara kapitalis modern dan ditambahkan juga terhadap berbagai negara yang mengaku diri sebagai negara sosialis.
Perlawanan itu sendiri banyak didominasi oleh pertarungan antar kelas dan dominasi ideologis yang memberi arti praktis dan teoritisnya. Pertarungan antar kelas kaya dan miskin di Sedaka bukanlah sekedar pertarungan mengenai soal pekerjaan, hak milik, padi dan uang. Ia juga merupakan pertarungan mengenai pemaknaan simbol-simbol tentang bagaimana masa lampau dan masa sekarang dipahami dan diberi nama pertarungan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dan menilai kesalahan-kesalahan yang kesemuanya adalah upaya untuk memberi makna partisan kepada sejarah setempat. Sebenarnya petarungan seperti ini tidak terlalu indah karena didalamnya ada fitnah, pergunjungan dan gosip yang bertujuan merusak nama baik orang, julukan-julukan kasar, gerakan tubuh atau sikap berdiam diri tapi maksudnya merendahkan orang lain. Yang menarik dari pertarungan antar kelas ini adalah tingkat kesamaan pandangan hidup yang dibutuhkannya. Baik pergunjungan maupun perusakan nama baik orang misalnya, tak ada artinya kecuali terdapat standar bersama, mengenai apa yang diinamakan penyimpangan, tidak patut atau tidak senonoh. Terlepas dari sangsi kekuasaan pendapat umum yang dimobilisir dan yang disetujui, sebagaian pertarungan ini juga dapat diartikan sebagai upaya kaum miskin untuk melawan marjinalisasi ekonomi dan ritual yang sekarang mereka alami dan mendesak agar diberi kaedahan budaya minimal sebagai warga terhormat.
James Scott mengungkapkan bahwa pembahasan mengenai perdebatan politik tidak harus terjadi dalam keadaan mapan, itu bisa terjadi bahkan di sebuah desa kecil yang dimana disini membahas bagaimana cara kaum yang lemah dan selalu kalah dalam masyarakat menentang kelakuan semena-mena dan eksploitatif dari kelompok ekonomi dan politik yang kuat dan strategi perlawanan yang dilakukan oleh para petani miskin di daerah pedesaan di mana perlawanan itu sendiri banyak didominasi oleh pertarungan antar kelas dan dominasi ideologis yang memberi arti praktis dan teoritisnya. Pertarungan antar kelas kaya dan miskin di Sedaka bukanlah sekedar pertarungan mengenai soal pekerjaan, hak milik, padi dan uang. Kaum lemah yang ada di pedesaan pada dasarnya tidak pernah berhenti menentang ketidakadilan yang menimpa diri mereka sebagai akibat dari tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang memperlakukan mereka secara tidak adil.
Pertarungan antar kelas kaya dan miskin di Sedaka bukanlah sekedar pertarungan mengenai soal pekerjaan, hak milik, padi dan uang. Kaum lemah yang ada di pedesaan pada dasarnya tidak pernah berhenti menentang ketidakadilan yang menimpa diri mereka sebagai akibat dari tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang memperlakukan mereka secara tidak adil dan untuk memahami pembaca menguraikan alasan mengapa revolusi tidak terjadi dalam masyarakat tertentu. Selain ketidakpatuhan, gosip, pembunuhan karakter, berbicara di belakang, julukan ofensif, merefleksikan perlawanan gambar dari kehidupan desa. Pelajaran dari buku ini dapat diterapkan dalam setiap organisasi modern dan menjadi keunggulan dari buku tersebut. Kelemahan dari buku ini adalah adalah kesulitan memahami kata - kata. Setiap kata membutuhkan beberapa menit dan membaca berulang - ulang untuk dapat mencerna hasilnya dan saya harus mengulang kembali kata-kata itu sampai beberapa kali.

Kesimpulan yang didapat dalam buku salah satu karangan James C. Scott yang berjudul senjatanya orang – orang yang kalah adalah perlawanan itu sendiri banyak didominasi oleh pertarungan antar kelas dan dominasi ideologis yang memberi arti praktis dan teoritisnya. Pertarungan antar kelas kaya dan miskin di Sedaka bukanlah sekedar pertarungan mengenai soal pekerjaan, hak milik, padi dan uang. Ia juga merupakan pertarungan mengenai pemaknaan simbol-simbol tentang bagaimana masa lampau dan masa sekarang dipahami dan diberi nama pertarungan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dan menilai kesalahan-kesalahan yang kesemuanya adalah upaya untuk memberi makna partisan kepada sejarah setempat. Sebenarnya petarungan seperti ini tidak terlalu indah karena didalamnya ada fitnah, pergunjungan dan gosip yang bertujuan merusak nama baik orang, julukan-julukan kasar, gerakan tubuh atau sikap berdiam diri tapi maksudnya merendahkan orang lain. Yang menarik dari pertarungan antar kelas ini adalah tingkat kesamaan pandangan hidup yang dibutuhkannya.

2 Comments