RESENSI BUKU


Judul Buku      : Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Istimewa Aceh
Pengarang       : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Penerbit           : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tebal Buku      : 198 halaman
Tahun Terbit    : 1983

Dalam buku dibahas tentang perjuangan rakyat dalam mencoba untuk mengusir penjajahan dari Bumi Serambi Mekah tersebut. Pada awal masa Revolusi Kemerdekan, daerah Aceh merupakan salah satu Karesudenan dari Provinsi Sumatra yang dibentuk sejak tanggal 3 Oktober 1945, dan sebagai kota kedudukan residen. Dimana daerah tersebut dipimpin oleh Asisten Residen dan Kepala Wilayah ( Controleur ), dan berkembang selanjutnya diubah lagi menjadi Kabupataen dan Kewedanan yang dipimpin oleh seorang Bupati dan Wedana.
Dalam perkembangan selanjutnya selama Revolusi Kemerdekaan, kedudukan daerah Aceh sebagai dari Wilayah Negara republik Indonesia telah mengalami perubahan, seperti irama dengan gerak revolusi pada waktu itu. Pada awal tahun 1947, Karesidenan Aceh berada di bawah daerah administratif Sumatera Utara, yang pada waktu itu Provinsi Sumatera dibagi menjadi tiga wilayah administratif yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Dan pada bulan Agustus 1947, berhubung dengan dilancarkan aksi militer Belanda pertama terhadap Republik Indonesia, berdasarka keputusan wakil Presiden Republik Indonesia no. 3/BPKU/47 tanggal 26 Agustus 1947 daerah Aceh menjadi daerah Militer.
Dalam buku ini dibahas pula bagaimana sikap rakyat Aceh pada masa akhir penjajahan Belanda, yang mulai menunjukan kebencian yang amat sangat atau bisa juga disebut kebencian yang mulai memuncak. Hal ini terlihat dari berbagai kegiatan rakyat untuk menentang penjajahan Belanda baik yang merupakan perjuanagan dalam bentuk fisik, maupun dalam bentuk kegiatan politik yang telah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pelopor kegiatan-kegiatan tersebut adalah para ulama dan uleebalang yang merupakan golongan yang mempunyai pengaruh cukup besar di dalam masyarakat Aceh. Dalam perjuangan politik anatara lainnya adalah dengan melakukan rapat-rapat rahasia untuk menyusun strategi yang tepat dalam menghadapi Belanda. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain adalah Muhammad Daud Beureueh, Teungku Abdul Wahab yang merupakan tokoh dari Persatuan Ulama seluruh Aceh (PUSA) dan Teungku Nyak Arief yang merupakan Panglima Sagi XXVI Mukim. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut secara tegas dikemukakan pendirian-pendirian kepada Residen agar pemerintahan diserahkan ke tangan rakyat Aceh sendiri untuk dapat mengatur pemerintahan sendiri. Sedangkan bentuk perjuangan fisiknya adalah berupa tindakan sabotase pada tanggal 19-20 Januari 1942 terhadap kawat-kawat telepon dan rel kereta api yang dilakukan oleh rakyat Seulimeum dan Indrapuri hingga mampu menewaskan Controleur Belanda di Seulimeum, Tiggelman.
Jepang mendarat ke Aceh pada tanggal 12 Maret 1942 yang mampu berlangsung secara sukses tanpa mendapat rintangan baik dari pemerintah Belanda maupun rakyat, malah rakyat menyambut kedatangan Jepang ke Aceh dengan perasaan senang serta turut membantu. Hal ini tidak lain oleh karena rakyat mengharapkan dengan kedatangan Jepang berarti kemerdekaan yang telah lama dinantikan akan segera terwujud sesuai janji yang telah pernah diucapkan sebelum mereka memasuki Aceh. Sebelum Jepang mendarat di Aceh telah mempunyai kontak langsung dengan para pemimpin rakyat, hubungan kedua belah pihak ini sebelumnya berupa pengiriman orang-orang Aceh ke markas Jepang di Pulau Pinang dan menganjurkan Aceh agar membentuk organisasi rahasia yang bernama “ Fujiwara Kikan” atau yang lebih dikenal dengan “F”. Namun pada akhirnya semua itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan masyrakat Aceh sepenuhnya malah kenyataan yang terbalik yang diterima.
Dalam buku dibahas pula kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Aceh pada masa sebelum kemerdekaan dibahas dengan sangat lengkap pula. Mulai dari mata pencaharian apa yang banyak dikerjakan oleh masyarakat Aceh hingga kerajinan apa yang dilakukan oleh masyarakat. Namun yang harus digarisbawahi adalah bahwa di bidang perdagangan mengalami kemerosotan, para pedagang Bumi putera walauppun masih mengerjakan kegiatan-kegiatan di bidang usaha mereka, namun tidak dapat memajukan usaha-usahanya bahkan semakin hari semakin terbatas ruang geraknya dan juga rakyat menderita kelaparan, karenaa hasil panennya telah diambil dan tidak mungkin untuk memperoleh bantuan dari BDK (penampung). Selain itu dalam politik, Jepang juga menerapkan beberapa kebijakan antara lainnya adalah Maibkatra, Sendenhan (Badan Penerangan) yang mempunyai surat kabar sendiri yang bernama Aceh Shinbun yang dalam pemberitaanya menerangkan politik fasisme Jepang, dan Aceh Syu Min koa Hoko (Badan Kebaktian Penduduk Aceh untuk Membina Asia). Dalam perjalanannya nanti Jepang akan berusaha untuk menambah jumlah tentara serta mengikutsertakan pemuda-pemuda ke medan pertempuran maka diusahakanlah latihan-latihan kemiliteran maupun semi-militer kepada para pemuda. Dalam buku ini bahasan tentang masa Romusha yang terkenal dari masa penjajahan Jepang pun ada. Pembuatan Jalan Raya Takengon – Blangkejeran yang mampu diselesaikan hanya dalam 4 bulan saja, selain itu juga ada proyek-proyek besar lainnya dari Jepang seperti memperbaiki Lapangan Terbang Blang Bintang dan Lhok Nga.

Dituliskan pula dalam buku ini keadaan Aceh setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu, rakyat yang merasa lebih menderita dari pada penjajahan sebelumnya mulaimembenci Jepang yang telah ingkar terhadap Jepang. Mengetahui hal tersebut Jepang yang telah kalah dari Sekutu mencoba kembali mengambil hati rakyat Aceh, namun walaupun Jepang telah berusaha maksimal, rakyat Aceh tetap benci hingga Jepang meninggalkan Aceh. Secara tidak sengaja para pemuda Aceh mengadakan rapat karena mengetahui bahawa kekuatan Jepang di Pasifik melemah dan ternyata pada saat diselenggarakannya rapat tersebut Jepang telah menyerah terhadap Sekutu hal tersebut diketahui dengan tidak hadirnya pimpinan residen Aceh dan pidato singkat tanpa semangat dari Matsubushi. Rapat pemuda tersebut memberikan arti penting bagi para pemuda, karena tidak mengherankan apabila nantisetelah diketahui Indonesia merdeka para pemuda tersebut dengan cepat mengorganisasi dirinya dalam satu barisan pemuda yang diberi nama Ikatan Pemuda Indonesia. Diketahui pula bahwa masyrakat Aceh baru mengetahui kemerdekaan pada tanggal 21 Agustus 1945 yaitu melalui para pemuda Ghazaly Yunus dkk. yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei. Mereka secara rahasia berhasil mendengar radio yang ditempatkan disana dan setalah itu segera memberitahukannya kepada teman-teman akrabnya. Setelah mengetahui berita resminya dari wakil Pemerintahan Pusat yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Sumatera, Mr. Teuku Mohd. Hasan. Seiring dengan tersebarnya berita kemerdekaan Indonesia di tiap tempat dilakukan pengibaran bendera Merah Putih.
Masalah-masalah yang mendesak negara pun muncul setelah itu dan memerlukan penyelesaian secara rinci, dalam garis besarnya dapat diperinci sebagai berikut :
1.      Masalah pertahanan negara yang menghadapkan pemerintah daerah dalam waktu singkat harus mengorganisasi kekuatan bersenjata di seluruh daerah Aceh.
2.      Masalah tentara pendudukan Jepang yang belum meninggalkan daerah Aceh dan kedatangan utusan Sekutu, yang katanya untuk menyelesaikan masalah tersebut, disamping tujuan lain yang mereka sembunyikan.
3.      Perpecahan antara sesama pemimpin Aceh yang kemudian menjurus pada pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Revolusi Sosial.
Organisasi kemiliteran pun dibentuk, dalam buku ini dibahas bahwa melalui beberapa musyawarah, akhirnya diputuskan untuk mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia. Dengan lahirnya API di Daerah Aceh maka dasar  yang kuat untuk tumbuhnya tentara resmi negara Republik Indonesia di sana telah mulai diletakkan. Dalam proses selanjutnya API bertukar nama menjadi TKR hingga akhirnya menjadi TNI sesuai dengan ketentuan dari pemerintah pusat.


Sebagaimana telah diketahui bahwa satu-satunya daerah Aceh yang berhasil diduduki oleh Sekutu adalah Pulau Weh (Sabang). Demikian pula dengan tentara sekutu, pertama-tama perhatiannya diarahkan ke pulau itu saat kembali ke Indonesia untuk melakukan agresinya. Tampaknya dalam buku ini dibahas pula bagaimana dalam agresi pertama Belanda berpikiran akan menyerang Aceh setelah menaklukan daerah-daerah lain terlebih dahulu, berdasarka pemikiran tersebut para Revolusioner kemerdekaan telah menyusun kekuatan bersenjata disamping membangun kekuatan fisik juga mental serta membangkitkan semangat jihad. Dengan dilakukannya Agresi Militer Belanda I maka Daerah Aceh berjaga-jaga dengan membentengi sebagian besar garis pantai mereka dengan persenjataan yang komplit. Akibat kejadian tersebut, maka pada tanggal 12 Agustus 1947 di Kutaradja dalam suatu pertemuan Dewan Pertahanan Daerah, dibentuk suatu Badan Koordinasi Daerah Aceh, yang bertujuan :
1.      Mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan 100% Negara Republik Indonesia atas dasar kesatuan dan persatuan.
2.      Membina NKRI yang berdasarkan Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial.
3.      Mengusahakan dan menegakan suatu pemerintahan yang kokoh, progresif, dan berdaulat.
4.      Melaksanakan mobilitas umum.
5.      Menyesuaikan kehidupan politik, ekonnomi, dan sosial untuk kepentingan pertahanan Tanah air.
Pun tidak ada bedanya pada Agresi Belanda II, keadaan Aceh seperti juga daerah-daerah lainnya sesudah perjanjian Renville, Aceh bertambah semakin sulit. Dimana Indonesia harus mengakui garis Van Mook (garis yang menghubungkan pucuk pasukan Belanda yang oleh pihak Belanda merupakan tapal-tapal batas antara daerah republik dan daerah pendudukan Belanda).
Dalam buku inni juga digambarkan bagaimana sulitnya mobilitas pada masa penjajahan dulu, maka pemerintah menginstruksikan kepada semua Residen dalam wilayah Republik Indonesia, supaya membentuk Dakota Funds ddan akhirnya GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh) bersedia untuk menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota seharga 120.000 Dollar Malaya.

Buku ini layak dibaca sebagai referensi tentang Revolusi Kemerdekaan yang berada di daerah Aceh. Sangat banyak informasi yang sangat mendetail yang dapat kita peroleh apabila kita membaca buku satu ini. Mulai dari bagaimana keadaan rakyat Aceh pada masa akhir penjajahan Belanda hingga masuknya Agresi Belanda yang kedua, dibahas pula bagaimana keadaan sosial masyarakatnya, keadaan ekonomi, serta jalannya pemerintahan pada saat itu. Dan yang paling penting dalam pembuatan buku ini menggunakan sumber sejarah yang sangat banyak sekali mulai dari dokumen-dokumen, majalah dan surat kabar, thesis yang belum diterbitkan, buku-buku serta artikel, dan yang terakhir adalah informan. Pada bagian akhir buku juga dilengkapi dengan lampiran-lampiran tentang isi dalam buku yang belum jelas bagi pembaca serta dilengkapi pula dengan peta A

0 Comments